Senin, Maret 16, 2009

ikhwah..???

sudah benarkah………

“Hei… aku sudah ikut mentoring”
“Aku sudah liqo”
“Aku sudah tarbiyah”
“Aku adalah ikhwah”

Mengapa kau bangga menyebut dirimu sebagai seorang ikhwah?
Padahal kelakuanmu tak ubahnya fatamorgana…..
Boro-boro shalat tahajud
Shalat wajib pun kau malas mengerjakannya
Lalu bagaimana dengan shalat berjama’ah?
Ah, serasa mimpi saja

Apalagi untuk sekedar membaca surat cintaNya
Huh… enakan baca novel, cerpen, atau komik
Lebih asyik dan menghibur
Daripada membekali diri dengan buku-buku islami

Benarkah engkau sudah tarbiyah ?
Kalau dengan lawan jenis kau begitu tak terjaga
Matamu berkeliaran, entah kemana hatimu
Saat ada tangan lembut seorang wanita yang tersodor kepadamu
Engkaupun menyambutnya dengan hangat dengan dalih agar ke’ikhwahan’ mu tidak turun
derajatnya

Kau begitu pemilih dalam berdakwah
Mana yang bisa kau jadikan tempat penghidupan
Padahal justru dakwahlah yang harus kau hidupkan

Kau begitu pemilih dalam dakwah
Betapa nikmatnya bertaushiyah dengan sang lawan jenis
Lagi-lagi dengan dalih dakwah
Padahal entah berapa banyak teman-temanmu sejenis yang lebih membutuhkan bimbinganmu

Bukanlah seorang ikhwah, orang yang tidak terjaga lisannya.
Bukan pula seorang ikhwah, orang yang tak bisa menjaga mata dan hatinya
Dari yang diharamkan Allah…
Bukanlah seorang ikhwah, orang yang begitu mudah mengeluh
Padahal ia memiliki Allah sebagai Pembelanya

Apakah pantas engkau mengaku sebagai seorang ikhwah ?
Padahal akhlaqmu begitu jauh dari akhlaq yang sesuai dengan perintahNya?
Benarkah engkau seorang ikhwah
Padahal engkau begitu malas beribadah kepadaNya?

Sekali lagi, kutanya kepadamu
ikhwah kah dirimu?

Padahal amalanmu begitu ternoda dengan tujuan duniawi
Tiada sedikitpun engkau beramal kecuali mengharap pujian dan balasan dari manusia
Tidakkah engkau malu telah berbuat begitu, wahai engkau yang mengaku sebagai ikhwah?

Apa yang kau lakukan saat ini?
Ketika orang lain tengah berpeluh karena berdakwah
Dan yang lainnya begitu letih menyeru kebaikan

Apa yang sudah kau lakukan?
Menjadi komentator dakwah
Atau turut melaju bersama putarannya?

Lalu, wahai orang yang mengaku dirinya sebagai ikhwah
Dimana engkau telah kubur hatimu?
Hei, sadarlah! Bangunlah!
Sebelum ajal menjemputmu sobat….

from milis : comes_info@yahoogroups.com

Meneladani Rasul Saw di Era Globalisasi

PENDAHULUAN
Agama terlahir bukan dalam realitas yang sunyi. Ia terlahir di tengah gegap
gempita peradaban yang menyelimuti kelahirannya. Agama sebagai pembawa
’suara langit’ harus dibenturkan dengan gejala sosial di sekitarnya.
Variabel yang saling mempengaruhi dalam proses perjalanannya adalah terletak
pada poros gerakan para pemeluknya dan realitas sosial yang dihadapinya.
Kekuatan agama dikatakan bukan pada poros urat kebenaran yang ia bahwa,
namun seringkali disebut pada apakah ia berhasil dalam menyelesaikan masalahmasalah
sosial di hadapannya atau tidak.
Rasul, sebagai pembawa risalah, seumpama aktivis, selalu berada dalam nuansa
kekejian sistem yang sedang mapan. Dalam masa penyampaian risalahnya, tak
jarang rasul diintimidasi, disiksa, bahkan terbunuh di tangan objek dakwahnya.
Hal tersebut diatas mengindikasikan bahwa, nilai kebenaran agama, meski ada
nuansa pembaharuan di sana-sini, namun tak mengurangi esensinya. Nilai
kebenaran agama adalah apakah agama mampu menghadapi persoalan yang
sedang dihadapi ummatnya, atau dalam konteks gerakan, apakah agama itu
mampu menyelesaikan dialektika yang berlaku antara kaum tertindas vis a vis
penindas dan strukturalnya. Dalam beragam kitab sejarah nabi, beragam muncul
nama yang mengabadi sebagai para penentang risalah. Fir’aun, Namrudz maupun
Agu Jahl adalah sosok yang menyejarah yang ditulis dengan tinta darah sebagai
penindas para pengikut awal gerakan para Rasul.
Sebuah fragmen penindasan, tergambar ketika di sebuah padang pasir, sesosok
tubuh hitam legam ditindih batu gunung, sembari dipecuti. Kita kenal beliau
dalam kitab sejarah sebagai Bilal ibn Rabbah. Atau saudara ’Amr ibn Yasir yang
kedua orang tuanya ditarik oleh beberapa ekor kuda hingga anggota badannya
terpisah serta dia dibunuh dengan kejinya. Atau tiran pembantaian yang keji
tergambar pada sosok Fir’aun yang melarang setiap bayi laki-laki lahir di tanah
Mesir.
Seperti pendapat para fuqoha, bahwa seseorang itu kita hukumi sesuai dengan apa
yang terucap dari mulutnya saja. Maka kita bisa mengambil kesimpulan dari
gejala pembantaian itu, atau ragam intimidasi yang dilakukan mereka, bahwa
mereka bukan takut akan kadar keimanan yang ditunjukkan oleh para pemegang
risalah, bukan itu. Karena ideologi para tiran sama sekali bertentangan dengan
jalan pikir para Nabi dan Rasul. Jika pun ada setetes kepercayaan yang
membasahi hati para tiran tadi, itu tak menghalanginya untuk menjulurkan tangan
besinya. Karena ada motif yang lebih tinggi dari sekedar motif untuk
membumihanguskan sebuah ’pemberontakan’.
Tauhid mengajarkan anti-penghambaan pada segala bentuk kuasa manusia dan
benda. Tauhid inilah yang selalu diemban untuk disebarkan oleh para rasul. Inti
ajaran tauhid adalah meniadakan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah.
Tuntutannya adalah tersingkirnya praktik kuasa tiran di mata para pemeluk
agama. Disinilah kuasa tirani mulai terusik. Kebijakannya diabaikan, ia tak lagi
dikultuskan, tak lagi ditakuti, maka serta merta sistem yang selama ini dibangun
tak lagi mapan. Ajaran tauhid menuntut penghapusan struktur sosial yang tercipta
akibat penumpukan kuasa modal dan kuasa kebijakan pada segolongan orang
tertentu saja. Pemiskinan dilakukan secara terstruktur, karena perputaran uang
hanya terjadi di lembaga-lembaga yang hanya dipunyai mereka yang punya
kebijakan saja, atau tidak punya kebijakan namun bisa mempengaruhi kebijakan
itu dengan uangnya. Roda ekonomi itu dilakukan sekehendak hati mereka, dengan
ragam kebijakan yang makin menguntungkan para pemegang kuasa modal.
Bermula dari tauhid, maka agenda perlawanan direncanakan dan dilaksanakan
dalam ranah sosial. Mobilisasi massa untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh
tauhid semakin meronta ke permukaan. Dikomandoi Rasul, hegemoni tiran itu
ditentang dan lama kelamaan runtuh diterpa gelombang yang tercipta dari energi
perlawanan tersebut. Inilah yang menjadi ketakutan para tiran. Mereka bukan
takut pada apa yang ada di hati para pengikut risalah, namun efek dari gerakan
yang dibuatnya. Karena post power syndrome juga melegenda pada era tiran
kuno.
Sebuah teladan perlawanan yang komprehensif bisa dilihat dari fragmen
perjuangan Rasulullah Muhammad SAW.

SEJARAH PERJUANGAN RASULULLAH SAW
Daerah Arab saat itu terhimpit dua peradaban yang secara pemikiran bertolak
belakang. Di barat ada sebuah peradaban yang melandaskan ranah pikirnya pada
pola-pola materialistik. Ini dikomandoi oleh Romawi dan Yunani. Segala hal yang
keluar dari mereka hanya berlandaskan nilai-nilai materi murni, sehingga gejala
penyimpangan sosial bergejolak secara masif. Kedua negara, terutama Romawi,
kuat secara militer sehingga rajin sekali melakukan imperialisme ke segala
penjuru mata angin. Layaknya negara imperialis, yang muncul hanyalah
penindasan dan pemaksaan.
Wilayah timur Arab, berdiri kokoh peradaban yang berasaskan nilai-nilai
khayalan dan ilusi. Dongeng-dongeng yang tidak masuk akal terbit dari sana.
Peradaban ini dipimpin juga oleh kedua negara yaitu India dan Persia. Semua
kebijakan dilandaskan hanya kepada wilayah khayalan dan khurafat, sehingga
muncul ragam penyimpangan yang banyak terjadi disini. Fragmentasinya bisa
terlihat dari ajaran-ajaran tanasukh, incest, penyiksaan diri dan lainnya yang
menyimpang secara etika, yang secara masif terjadi di kedua negara ini.
Wilayah Arab sendiri tak luput dari gejala penyimpangan. Sebagaimana yang kita
kenal dengan sistem jahiliyyah. Kondisi jahiliyyah tak beda dengan kedua
peradaban yang telah disebutkan di atas. Deskripsi singkat dari kondisi ini bisa
dilihat ketika bayi perempuan yang terlahir harus dikubur hidup-hidup, fanatisme
luar biasa terhadap suku, perang antar suku demi kuasa gengsi, serta perniagaan
yang menggantungkan pada monopoli dan ketidak-jujuran. Meski kita tak selalu
harus setuju bahwa jahiliyyah adalah kebodohan an sich.
Setelah melewati sebuah proses pengangkatan menjadi Rasul, Muhammad Saw
beserta para pengikutnya melakukan pengkaderan secara sembunyi-sembunyi.
Dari rumah ke rumah secara gerilya, sedikit demi sedikit pengikutnya bertambah
banyak.
Adalah sosok ’Amr ibn Hisyam yang selalu terdepan dalam menghalangi gerakan
dakwah Rasul Saw. Ragam intimidasi, provokasi, fitnah selalu keluar dari
mulutnya. Tapi kita tak terlalu mengenal sosok ini, tak seperti Abu Jahl atau Abu
Lahab yang kita hafal. Ya, ’Amr ibn Hisyam dijuluki oleh para pengikut
Muhammad Saw pada waktu itu sebagai Abu Jahl. Apakah ia adalah induk
daripada kebodohan? Ternyata tidak. ’Amr ibn Hisyam dikenal sebagai sosok
yang penuh hikmah dan kebijaksanaan di kalangan kaumnya, dialah pembuat
legislasi, tempat dimana disitulah kehormatan bagi seseorang di kalangan kabilah
bangsa Arab. Ternyata sosok Abu Jahl jauh dari apa yang terkenal darinya sebagai
biang kebodohan.
Maka disini, esensi daripada jaman jahiliyah adalah sebuah jaman yang masih
belum terwarnai oleh kultur tauhid. Artinya bodoh secara Islam. Maka tugas dari
pada pembawa tauhid lah yang harus mewarnai bangsa Arab dengan kultur islam.
Kultur tauhid yang meniadakan penindasan terhadap rakyat jelata, yang
meninggikan arti kejujuran dalam niaga serta membebaskan manusia dari segala
kuasa manusia dan benda.
Kesadaran sosial yang dibangun secara transedental oleh Muhammad Saw
terhadap para pengikutnya menggugah kesadaran akan realitas sosial yang ada di
depan mereka. Pilar-pilar iman yang telah kokoh menuntut Bilal ibn Rabbah
untuk tetap teguh menyatakan ”Allah itu Satu” meski cambuk dan batu
menindihnya di tengah-tengah gurun. Dari dialah kita bisa melihat bahwa kultur
tauhid adalah kultur anti-perbudakan. Fragmen Bilal sebagai kaum tertindas
terlihat jelas, bahwa ia adalah seorang budak, yang tiada lain harus menuruti
kehendak majikannya, hatta dalam ranah keyakinan.
Kemudian apa motif dari Abu Lahab, maupun orang semacamnya? Dia
menentang Muhammad Saw dengan lantang, ketika Muhammad Saw
mengumandangkan seruannya di bukit Shafa,
”Taban laka ya Muhammad, alihaadza jama’tanaa?!!! Binasa engkau
Muhammad! Apakah untuk urusan seremeh ini kami semua engkau
kumpulkan?!!”
Yang setelah ini turunlah Surat Al-Lahab mengabadikan nama Abu Lahab sebagai
penentang da’wah.
Mari kita baca Surat Al-Lahab dalam perspektif sosial. Apa yang sebenarnya
terjadi dengan Abu Lahab? Motif apakah yang mendorongnya melakukan itu?
Bagaimana realitas sosial yang terjadi pada masa itu?
Pada waktu itu, Abu Lahab adalah pemilik berhala-berhala di sekitar Ka’bah,
bersama kaumnya mereka mengelola peribadatan itu dan menarik upah darinya. Ia
dan keluarganya hidup dari ini. Maka apa jadinya dengan bisnisnya ini ketika
kaumnya mengikuti ajaran Muhammad Saw. Ajaran yang mengajarkan budak
sama kedudukannya dengan tuannya, ajaran yang tidak lagi beribadah kepada
patung-patung yang meski Abu Lahab sendiri tidak yakin akan hal ibadah
tersebut, apa jadinya nanti dengan bisnis yang menghidupi keluarganya itu. Maka
bersama isterinya, ditentang lantanglah Muhammad sang Rasul Saw, meski
keponakannya sendiri.
Jadi motif Abu Lahab disini adalah motif untung-rugi secara ekonomi, kapitalis!

MENELADANI RASULULLAH DI ERA GLOBALISASI
Undang-undang baill out yang ditetaskan oleh parlemen Amerika Serikat
mengindikasikan kerapuhan sistem kapitalis yang selama ini mereka bangun.
Kapitalisme, dimana kuasa individu berorientasi profit berdiri kokoh, dan turut
campur negara adalah aib tak bisa memberi mereka kemakmuran selamanya,
malah justru terjerembab dalam krisis global.
Meski sedang sekarat, sistem ini tetap dipegang oleh beragam kalangan, pun di
negara kita. Bagaimana profit oriented begitu kuasa mencengkeram beragam
aktifitas manusia di negeri ini. Pemiskinan terjadi di mana-mana. Penggusuran
atas nama keindahan kota, penertiban pedagang kaki lima atas nama kenyamanan
warga, serta fasilitas umum yang tak bisa dijangkau kantong-kantong rakyat
lapisan terbawah. Semuanya atas nama bisnis, meski kadang mengatasnamakan
kepentingan publik. Bagaimana setelah rumah penduduk digusur, disana berdiri
megah hotel berbintang lima, serta kaki lima yang raib karena represifnya aparat
tiba-tiba muncul spanduk akan dibuka mall megah. Semuanya atas nama publik,
tapi publik yang mana, tidak dijelaskan. Apakah mall megah dan hotel berbintang
itu bisa diakses oleh rakyat lapisan terbawah?
Semuanya atas nama keuntungan, bagaimana segala kebijakan mandul karena
eksekutornya juga pengusaha kapitalis. Setali tiga uang adalah pembuat kebijakan
itu sendiri. Legislatornya pun merangkap sebagai orang-orang yang berideologi
profit oriented, kapitalis juga! Maka tak heran jika privatisasi begitu banyak kita
temui sekarang pada perusahaan-perusahaan vital yang menjadi hajat hidup orang
banyak. Atau perusahaan tambang yang banyak dieksploitasi oleh negara asing.
Lihatlah nun di pulau Irian, berdiri kokoh Freeport, pabrik penghasil emas, yang
keadaan penduduknya menggiriskan namun tak bisa ditolong dari keberadaan
pabrik tersebut. Atau anda yang penyuka Laskar Pelangi, pasti tahu tentang PN
Timah di Belitong. Bagaimana keadaan Gedong dibandingkan keadaan
masyarakat dimana Andrea hidup. Belum lagi di blok Cepu, Minahasa, dan
Cilegon.
Inilah wajah globalisasi. Ekonomi yang dikenal juga ekonomi pasar bebas. Maka
kita patut berkaca pada kata-kata Abu Bakar Ash Shidq, sang Khalifah pertama. Ia
berkata bahwa jika pasar memenangi masjid, maka masjid mati. Namun jika
masjid memenangi pasar, maka pasar akan tetap hidup.
Di globalisasi ini, masjid telah mati, karena pasar telah menang.
Maka kita ucapkan selamat datang pada meraka yang akan melanjutkan risalah
tauhid Rasulullah Saw. Melanjutkan berarti berhadapan dan melakukan gerakan
perlawanan pada sistem keji yang sudah mapan. Melanjutkan berarti meneladani
segala fragmentasi kehidupan Rasulullah Saw beserta segala resikonya.
Disini kita akan berhadapan dengan Abu Lahab – Abu Lahab baru yang
bermetamorfosis menjadi tiran yang dikatakan oleh Lord Acton: Power tends to
corrupt, absolute power corrupts absolutely.

Minggu, Maret 15, 2009

Semaoen dan saya

'Awas! Awas! Saudara-saudara, rukun, rukun....jangan seperti anak kecil. Ingatlah:
Durjana huru-hara, wong tani ditaleni. Jaman edan. Kaum buruh rukunlah! Rukun
membikin kuat dan kuat menambah selamat. Kaum buruh, kumpullah jadi satu!'
[Semaoen, 22 April 1918, Koran SI Semarang]
...
Saat tulisan itu diterbitkan, Semaoen masih berusia 14 tahun. Usia dimana kita masih
asik bermain bola, playstation, maupun dipenuhi dengan les. Semaoen, di usia 14 tahun
sudah menulis dengan guratan yang kuat akan refleksi dari realitas sosial di depan
matanya. Penindasan kolonial, wabah kelaparan, serta imperialisme terhadap bangsa
Indonesia oleh Kolonial telah menguatkan urat tulisannya.
Namun, saya pun sebenarnya sama, melihat berbagai macam imperialisme modern,
derap kapitalis yang semakin mantap, penggusuran dimana-mana, ketidakadilan mudah
ditemui, namun masih saja alur tulisan ini dingin, netral, dan tak berwarna. Padahal umur
hampir mencapai 22 tahun. Kebejatan pendidikan dan koran-koran yang brengsek telah
menidurkan syaraf naluri, telah mematikan fungsi peduli, dan sangat sukses meluluskan
saya menjadi orang-orang yang bebal terhadap realitas.
Pena saya hanya lancar jika berbicara tentang sang kekasih, selera makan, trend
handphone terbaru, gosip, ataupun curhat yang tidak penting, jauh, sangat jauh dari rasa
empati, sangat jauh dari peduli, dan sangat jauh dari prasyarat seorang pemuda yang
dieluk-elukan sebagai agent of change, calon pemimpin alternatif ketika orang-orang tua
telah terlikuidasi dari panggung yang tak seharusnya mereka berada disana.
Koran SI Semarang itu memuat tulisan seorang anak berusia 14 tahun, bukan memuat
roman picisan yang cengeng ala novel teenlit.
Maka, para imperialis domestik itu masih akan mengayun-ayunkan kaki di kursi
kekuasaan mereka masing-masing, karena pemuda seperti saya masih menjadi
mayoritas dari pemuda di negeri ini.

Eksponen '98

Bagi kami para mantan aktivis ’98,
Kalaupun hari ini kami menjadi anggota dewan,
Tidak pernah sama sekali kami pandang itu sebagai ‘hadiah’ ataupun ‘hasil’ perjuangan.
Namun, semata-mata wujud pertanggungjawaban moral, publik, dan politik kami
Disebabkan kami pernah mengusung suatu gagasan perubahan
yang ternyata sampai hari ini belum terwujud sama sekali.
Jadi, semacam beban moril atas sebuah perjuangan yang belum dituntaskan.
Sekarang, di forum parlemen ini konsistensi kami diuji.
Untuk itu, saya selalu berdoa agar saya dan rekan-rekan seperjuangan lainnya
Senantiasa dikaruniai Allah keyakinan, keikhlasan serta semangat untuk terus istiqomah dalam beramal shalih,
Dimanapun, kapanpun!

[Rama Pratama]
Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia Periode 1997-1998
Anggota DPR RI Komisi XI (Keuangan Negara, Perencanaan Pembangunan dan Perbankan)

"Aku tak lagi takut" Kata Tiran

Untunglah kami hidup pada saat era transisi sekarang. Meski demokrasi masih bermuka
cemong disana-sini, tapi minimal ada sedikit kelegaan manakala upaya kritis kami tak
berujung stempel subversi. Sistem demokrasi atau apapun namanya lah, yang jelas saat
ini ceritanya lain dibanding senior-senior kami yang kini tlah beranak cucu yang hidup
pada era sistem diktator dahulu.
Kalau dulu, kata salah satu senior kami, mengadakan diskusi pun harus sembunyisembunyi,
rahasia sekali, padahal cuma diskusi keilmuan. Lalu jika ketahuan, maka kami,
lanjut abang, akan ditangkap dan dikenai pasal subversif atau perbuatan makar terhadap
pemerintah yang sah, masih untung jika dihukum penjara, kebanyakan langsung di 'dor'
di tempat, ngeri nggak tuh?
Maka syukur ribuan kali, jika anugerah ini telah diberikan pada kami. Meski diskusi di
alam terbuka, tempat umum yang ramai, tak ada aparat pun yang berani menangkap,
apalagi menuduh subversif. Lalu apa kerja intelijen?
Intelijen masih tetap ada, entah saat aksi lapangan mereka menyusupkan orang-orang
suruhan sebagai provokator, atau memantau aktivitas kami. Dimana kami diskusi, siapa
saja yang datang, dan apa yang sedang kami bahas, mereka akan tahu. Entah apakah
diantara kami ada yang menjadi binaan mereka, yang jelas, tiap kami diskusi mereka
selalu ada disana, memperhatikan kami.
...
Tapi entahlah, ketidak takutan pemerintah terhadap kami seakan berujud nyata, yakni
kami tak pernah diancam, aman-aman saja. Bahkan tiap aksi lapangan yang menciderai
aparat pun, tak ada dari kami yang ditindak. Aneh? Heran?
Tidak usah merasa seperti itu. Pemerintah beserta aparatur bersenjatanya, hanya
melihat mahasiswa sebagai kumpulan manusia-manusia yang nanti akan dimanfaatkan
sebagai proyek pembangunan mereka, sebagai objek tentu, bukan subjek. Lalu buat apa
takut, toh yang selalu menjadi topik pembicaraan dari bibir-bibir kaum akademisi ini
hanya berkutat pada apakah tampilannya sudah 'mode follower', hilangkah jerawat dari
muka gue, atau masih ada nggak ya ketombe di rambut gue
dan ujung-ujungnya pun hanya berkutat pada arena hedonistik. Kebejatan moralitas,
yang kata Pengamat Pendidikan Arif Rahman Hakim, bermula dari pendidikan ini yang
hanya merangsang kemampuan di ranah kognitif, pola kemampuan otak kiri. Maka
pendidikan brengsek ini harus dihentikan, tapi itu kata saya. Kata pemerintah kan
berbeda pula pendapatnya. Yang penting ada perubahan kulit yang bisa menjadi ladang
proyek, untuk penambahan daftar kekayaan yang sangat luar biasa berguna bagi
pemanjangan kekuasaan. Dan mereka berhasil. Berhasil menghentikan arus kritis dari
pihak yang dianggap potensial menjatuhkan mereka yang bejat.
Sarang-sarang mereka yakni kampus, dibuat sedemikian padat oleh aksi hura-hura.
Pentas band, lomba karaoke, dangdut, dan ajang adu bakat menjadi rutinitas abadi di
gerbang-gerbang ranah akademis. Dan sukses, mahasiswa dan mahasiswi yang manis,
lucu, dan lugu minta ampun itu terjaring dalam jala-jala yang sengaja dirajut oleh
pemerintah sekarang.
Agar tak ada lagi protes, tak ada lagi demonstrasi, agar kuasa mereka bisa panjang. Jika
pun protes, hanya berupa riak-riak kecil tanpa arti.
...
Dan kini, tanyakanlah pada ego kita, pada siapa buruh itu mengadu ketika penindasan
oleh perusahaan dimana ia bekerja masih terus terjadi, mereka tak mengerti jalur hukum
di negeri ini. Pun begitu dengan petani, harga jual beras yang murah, tak sebanding
dengan pengeluaran mereka. Sedang tengkulak selalu berada di atas angin dalam
kondisi seperti ini. Apalagi kasus padi 'super toy' dan 'MSP' kemarin telah merugikan
mereka. Sekali lagi, 'kawula alit' masih menjadi objek dari kebijakan yang brengsek. Dan
lebih brengsek dari itu adalah kita yang hanya diam melihat kebrengsekan itu terjadi. Yah
kita memang brengsek, maka tak seharusnya para tiran takut dengan kita.
...