Rabu, April 29, 2009

Ujian Nasional...??? again...or againt???

oleh:

Ramlan Nugraha


Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Ketua Dept. Kebijakan Publik KAMMI Wilayah Jawa Barat



A. Pendahuluan

Pro kontra tentang keberadaan Ujian Nasional (UN) masih menjadi perdebatan panjang di Republik ini. Secara hukum, seharusnya perdebatan tentang hal ini sudah selesai. Kenapa ? Karena pada tanggal 21 Mei 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui keputusannya telah mengabulkan gugatan subsider dalam perkara Citizen Lawsuit tentang Ujian Nasional. Pasca keputusan tersebut, seharusnya para stakeholders yang memberikan kebijakan pelaksanaan UN berpikir ulang tentang keberadaan UN. Tapi nyatanya sampai sekarang, hal ini belum juga dilakukan. Sudah bukan rahasia umum lagi, muatan politis seringkali bahkan hampir mendominasi setiap kebijakan yang dikeluarkan, termasuk dalam pelaksanaan UN ini.

Keberadaan UN pada dasarnya untuk menilai sebuah mutu pendidikan. Dengan cut off score sebesar 5,5 untuk nilai beberapa mata pelajaran dan 7,0 untuk nilai kompetensi siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pemerintah berkeyakinan bahwa mutu pendidikan dapat meningkat jika rekapitulasi siswa yang lulus meningkat tiap tahunnya. 

Sebelum melangkah lebih lanjut, alangkah baiknya sekiranya kita membaca kembali pengertian pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 1

(1). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Secara luas, pendidikan diartikan untuk mewujudkan manusia yang memiliki beberapa aspek diatas. Artinya mendidik dan menilai siswa harus memakai perspektif menyeluruh dan tidak bisa menjustifikasi hanya dengan ranah kognitif saja, seseorang menilai mutu sebuah pendidikan berhasil atau tidaknya.

Menurut Prof. Soedijarto (2007), Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jerman tidak menggunakan UN sebagai standar untuk melihat mutu pendidikan. Mereka menerapkan beberapa kebijakan seperti di bawah ini :

Menyediakan guru yang profesional.
Menyediakan fasilitas yang lengkap seperti adanya fasilitas olah raga dan ruang kerja guru.
Media pembelajaran yang kaya, kelengkapan perpustakaan sehingga memungkinkan siswa untuk terus menerus membaca.
Evaluasi terus menerus, komperehensif dan obyektif. 

Metode ujian yang dilaksanakan tidak seperti di Indonesia. Di kita, sebagai contoh adalah UN untuk tingkat sekolah menengah. Ujian Nasional sebagai penentu keberhasilan seorang siswa dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun sekali. Dengan materi yang luar biasa banyak, maka setiap siswa harus berupaya maksimal dalam melakukan proses persiapan.

Masih menurut Prof. Soedijarto (2007), dari empat poin kebijakan diatas maka yang menjadi penekanan adalah poin terakhir, yaitu evaluasi terus menerus, yang dilakukan secara komperehensif dan obyektif. Sederhananya, metode evaluasi yang dilakukan adalah setiap hari belajar maka selalu ada tugas dan penilaian. Ketika belum lulus dalam satu pelajaran siswa belum bisa melangkah ke pelajaran berikutnya, tetapi harus mengulangnya sampai dengan lulus. Dalam dunia pendidikan kita menyebutnya belajar tuntas (mastery learning).

B. Penilaian komperehensif dan Fairness

Program belajar tuntas (mastery learning) akan menekankan penilaian yang objektif atas kualitas ketercapaian seorang siswa. Penilainya tentu guru yang bersangkutan. Nah, tingkat kemampuan seorang gurulah yang nanti sangat menentukan proses objektifitas penilaian (assessment) tersebut. Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru atau pendidik adalah professional, kepribadian, sosial dan pedagogik. Proses belajar mengajar bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan (knowledge) saja, tetapi transformasi seseorang menjadi lebih bermakna. Peran memahami ilmu pedagogik tentu akan sangat membantu seseorang dalam memahami kewajibannya sebagai seorang pendidik. Sangat disayangkan memang, orang yang tidak mempunyai standar/sertifikasi sebagai pendidik (di lembaga pendidikan) bertebaran dengan bebas di Republik ini. Terlepas dari kualitas Lembaga pemberi sertifikasi yang harus kita kupas tuntas juga, tapi akan sangat panjang jika kita bahas di sini.

Pandangan yang tidak komperehensif sangat terlihat pada pelaksanaan UN. Ujian yang dilakukan hanya ditekankan pada beberapa mata pelajaran tertentu saja. Padahal pelajaran-pelajaran tersebut lebih mengarahkan pada aspek kognitif yang merupakan sebagian kecil saja aspek yang harus dimiliki oleh setiap siswa.

Mengutip pendapatnya Prof. Hamid Hasan (2007), bahwa dalam teori pendidikan salah satu prinsip tes adalah fairness. Prinsip ini menjelaskan bahwa suatu tes haruslah dilakukan secara fair kepada mereka yang telah memiliki pengalaman belajar yang sama. Jika suatu tes (yang sama) diberikan kepada peserta tes yang memiliki pengalaman belajar yang berbeda dalam kualitas, maka prinsip fairness telah dilanggar. Oleh sebab itu, tes yang digunakan dalam UN melanggar prinsip ini karena UN harus diikuti oleh mereka yang memiliki pengalaman belajar dengan kualitas yang berbeda.

C. Penutup

Sangat panjang jika kita runut alasan-alasan mengapa UN tidak mencerminkan mutu pendidikan secara komperehensif. Yang patut kita lakukan hari ini adalah mendorong stakeholders agar mempunyai goodwill yang jelas terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Kritik bahwa sudah seharusnya pemangku jabatan yang berwenang dalam bidang pendidikan – Menteri Pendidikan Nasional, red. – adalah mereka yang mempunyai kapasitas yang jelas dalam bidang pendidikan (kepakaran) mestinya mendapat perhatian yang lebih bagi siapapun presiden yang nanti terpilih.

Wallahu’alam bishshawab.

Bandung, 20 April 2009

Selasa, April 21, 2009

Pendidikan Sebagai Tindakan Politik

oleh Dr. Agus Nuryatno

Antonio Gramsci memandang politik sebagai sebuah proses edukatif. Dengan kata lain, dia memberi muatan edukatif dalam aktifitas politiknya (Diana Coben, 1998). Politik tidak hanya dipersepsi sebagai seni memperebutkan kekuasaan, tapi di dalamnya ada muatan dan nilai edukatif. Hal yang sama, Ernesto “Che” Guevara memberi muatan edukatif dalam revolusinya (Peter McLaren, 2000). Suatu saat dia pernah bilang, “If you want an education, join the revolution” (dikutip di Jim Walker, 1981: 120).


Freire berangkat dari titik tolak yang berbeda dari kedua figur di atas, tapi punya spirit yang sama. Dia memberi muatan politik dalam konsep pendidikannya. Bagi Freire, para pendidik harus sadar akan sifat alamiah politik dalam praktek pendidikan yang dijalankannya. “Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa pendidikan merupakan tindakan politik, sebagaimana tidak cukup untuk mengatakan bahwa tindakan politik juga bermuatan edukatif. Kita perlu sekali menyadari sifat alamiah politik dalam pendidikan” (Freire, 1998, hal. 46).

Mengapa Freire memberi muatan politik dalam teori dan praktek pendidikannya? Ini dikarenakan filsafat dasar Freire adalah filsafat praksis. Dalam hal ini, sepertinya Freire menambah makna baru terhadap sebelas tesis Marx yang terkenal tentang Feuerbach, “Kaum filosof hanya bisa menafsirkan dunia dengan cara-cara yang berbeda; padahal yang penting adalah mengubahnya” (Cornell West, 1993: XIII).

Pedagogy of the Oppressed karya Freire penuh dengan nuansa politik, sebagaimana yang termanifestasikan dalam kata-kata penindasan, dehumanisasi, obyek, budaya bisu, liberasi, emansipasi, konsientisasi, humanisasi, dan seterusnya. Terma-terma ini jelas sekali mengindikasikan keyakinan Freire akan kekuatan dan potensi pendidikan untuk melakukan perubahan sosial lewat agen manusia. Konstruksi pendidikan yang ideal adalah yang didasarkan pada konsep etis dan utopis yang bisa memperluas ruang-ruang publik yang demokratis dan melahirkan sebuah struktur sosial yang adil di mana harkat kemanusiaan terlindungi dan kondisi kehidupan manusia meningkat.

Freire menawarkan pendidikan sebagai “bahasa kritik” (Henry Giroux, 1993) dengan menghubungkan pendidikan dengan kekuasaan dan politik, karena ketiganya saling terkait satu sama lainnya. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas di mana ia berada. Bahkan, disadari atau tidak, sebenarnya pendidikan merupakan ajang pertarungan antar pelbagai ideologi yang membentuk realitas sosial. Setiap dimensi sekolah dan setiap bentuk praktek pendidikan secara politis adalah ruang yang diperebutkan. Jika demikian halnya, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari pertarungan antar kepentingan. Dalam pandangan Freire, pendidikan harus mengambil peranan dalam memproduksi dan menciptakan kehidupan publik, bukan sekedar beradaptasi dengan realitas sosial. Meminjam bahasa Neil Postman (1995), pertanyaan yang tepat bukanlah “Apakah pendidikan mampu menciptakan kehidupan publik?”, tapi “Kehidupan publik seperti apa yang ingin diciptakan?” (Neil Postman, 1995: 18). Di samping “language of critique,” Freire juga menawarkan “language of hope.” Harapan di sini tidaklah statis atau hanya emosional, tapi sebuah motor penggerak dan sebuah “kebutuhan ontologis” (Freire, 1994: 8), yang sangat penting dalam pendidikan pembebasan.

Gagasan Freire untuk menggeser lokus belajar dari guru/dosen ke murid tidak diragukan lagi telah mengubah relasi kekuasaan, tidak hanya di kelas tapi juga dalam wilayah sosial. Pernyataannya bahwa “education is politics” (Freire, 1987: 46) mengandung banyak arti. Pernyataan ini berarti bahwa semua aktifitas pendidikan itu pada dasarnya bersifat politis dan punya konsekuensi dan kualitas politis. Cara guru mengajar, pilihan pengetahuan yang hendak diajarkan, dan model relasi yang akan dibangun, semuanya bersifat politis, karena mereka mempunyai kontribusi terhadap pembebasan atau domestikasi peserta didik. Dalam hal ini guru/dosen harus konsisten dengan pilihan politiknya. Adalah absurd jika ada guru yang memproklamirkan dan mengajarkan demokrasi dan keadilan tapi pada saat yang sama mengebiri suara peserta didik di kelas. Cukup sulit untuk diterima akal sehat jika ada guru/dosen mengumandangkan nilai-nilai demokrasi, persamaan dan egalitarianisme, tapi pada saat yang sama mengembangkan sebuah hubungan yang otoriter di kelas. Konsistensi antara ucapan dan tindakan harus dijaga supaya guru/dosen bisa terhindar dari kepribadian terbelah (split personality).

Pendidikan sebagai politik juga berarti bahwa proses pembelajaran di kelas tidaklah semata-mata akuisisi dan transmisi pengetahuan, tapi merupakan proses pengembangan subyek yang kritis di mana pengetahuan dan kekuasaan yang ada dipertanyakan secara terus menerus. Proses pembelajaran tidaklah dimaknai sebagai proses memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, tapi lebih sebagai proses untuk memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk mengubah realitas (Paula Allman, 1999). Hanya dalam perspektif inilah proses pembelajaran akan menghasilkan implikasi politis.

Pilihan isi pembelajaran juga punya implikasi terhadap pengembangan critical subjectivities. Dalam konteks ini menarik untuk melihat bagaimana Henry Giroux (1983) dan Peter McLaren (1998 ) mengusulkan perlunya “pengetahuan emansipatoris” didiseminasikan dalam ruang pembelajaran karena ia punya implikasi dalam pendidikan. Konsep “pengetahuan emansipatoris” sebetulnya didasarkan pada kategori-kategori pengetahuan yang dikonstruksi oleh Jurgen Habermas.

Menggunakan pola Habermas, mereka mengklasifikasi pengetahuan dalam tiga kategori: teknis, praktis dan emansipatoris. Karakteristik pengetahuan teknis adalah kontrol, kepastian, obyektifitas, dan bebas-nilai. Implikasi model seperti ini dalam teori pendidikan adalah bahwa pengetahuan harus beroperasi di dalam kerangka lawlike mode of thought dan pengetahuan dipisahkan dari proses pembentukannya. Proses pembelajaran dalam panduan pengetahuan teknis cenderung mengakibatkan kontradiksi dialektis antara guru yang berperan sebagai transmitter pengetahuan dan murid yang berperan sebagai konsumen yang pasif. Posisi seperti ini memungkinkan bagi guru untuk menentukan, mengatur dan mengontrol murid.

Tipe kedua adalah pengetahuan praktis yang menggunakan hermeneutik sebagai alat analisis untuk menafsirkan watak dasar realitas. Model pengetahuan seperti ini membantu peserta didik untuk menganalisa kategori-kategori dan asumsi-asumsi yang membentuk realitas dan bagaimana itu berpengaruh dalam memahami dunia. Pembentukan realitas diyakini dimediasi oleh bahasa di mana manusia secara konstan memproduksi dan memproduksi kembali makna lewat penafsiran mereka terhadap dunia.

Implikasi model pengetahuan praktis terhadap pendidikan adalah pengetahun tidak disampaikan lewat imposisi, tapi dimediasi lewat dialog di antara peserta didik. Mereka didorong untuk mengeksplorasi dan mengartikulasikan nilai-nilai mereka sendiri dan memahami dan mengevaluasinya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, model pengetahuan seperti ini gagal untuk mengembangkan suatu bentuk analisis yang memungkinkan peserta didik untuk mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, khususnya bagaimana kekuasaan dan ideologi yang dominan memproduksi seperangkat makna, pemahaman-pemahaman, dan praktek-praktek yang mendukung dan melanggengkan dominasi struktural mereka, dan pada saat yang sama mencegah munculnya critical community.

Untuk itulah diperlukan tipe lain, yaitu pengetahuan emansipatoris, sebuah bentuk pengetahuan yang mengorientasikan peserta didik untuk memahami realitas sosial berdasarkan pada relasi dialektis kekuasaan. Argumennya adalah bahwa realitas itu dibentuk oleh kompetisi antar paradigma, di mana masing-masing paradigma membawa agenda, kepentingan, nilai dan ideologi sendiri-sendiri. Proses belajar, dengan demikian, bertujuan untuk mengkritisi pengetahuan dan mendemistifikasi kepentingan-kepentingan ideologis di balik konstruksi realitas sosial, dan kemudian mengambil tindakan untuk menciptakan formasi realitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.

Dalam konteks ini, pengetahuan emansipatoris berupaya untuk melampaui pandangan mekanis dari pengetahuan teknis dan bergerak melampaui kategori pemahaman (understanding) seperti yang dikumandangkan model pengetahuan praktis, agar sampai pada tahap transformasi. Pengetahuan emansipatoris mendorong peserta didik untuk menggunakan self-reflection. Dengan demikian, menghadirkan pengetahuan emansipatoris di dalam kelas punya efek untuk mentransformasi peserta didik menjadi subyek yang independen dan merdeka yang bisa menemukan dan mengartikulasikan suaranya.

Pengetahuan emansipatoris dibentuk didasarkan pada basis kritik dan aksi. Dalam pengertian, ia terlibat, sebagai bagian dari proses kesejarahan, dalam kritik terhadap realitas sosial dan mengambil tindakan untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik. Dasar untuk menilai pengetahuan, dengan demikian, bukanlah apakah ia “salah” atau “benar,” tapi apakah ia “liberatif” atau “opresif.” Proses pembelajaran yang diarahkan untuk mendesiminasi model pengetahuan seperti ini harus didesain sedemikian rupa untuk mempromosikan kesadaran kritis dan kebebasan individu. Dua hal yang bisa menjadi fondasi bagi pemberdayaan peserta didik.

Agama dan Revolusi Sosial

Di kala itu juga, aku berpendapat:
Bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan pada yang tak punya
Dan mereka tak merasai ini

(Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam)

Saya tak kenal dekat dengannya. Tapi tulisannya yang penuh dengan anjuran bertoleransi bertebaran di mana-mana. Ia ingin melihat agama sebagai penentram kehidupan sosial ketimbang kekuatan penggubah. Dalam daya jangkau pemikirannya, agama memang tidak untuk memuaskan naluri emosional melainkan bagaimana agama mampu menjadi perajut dari perbedaan. Gagasannya memang kerapkali kontroversial tapi itu yang membuat namanya makin populer. Anugerah beasiswa diberikan padanya dan tulisannya selalu mendapat tempat di media nasional. Ia punya kawanan yang berada di bawah bendera liberal. Ia adalah perintis dan martir bagi pasukan yang membawa panji kebebasan,toleransi dan kesamaan pandang. Popularitasnya didaki oleh kecaman, ancaman dan beberapa karya tulis yang dimuat di koran-koran. Ia beda dengan Nurcholish Madjid; lebih berani mengartikulasikan gagasan dan mempunyai jaring media yang banyak.

Ia tak sendirian. Sebuah kelompok kesenian yang memanggungkan kesusilaan seperti melanjutkan gagasannya. Mereka tak setuju dengan aturan soal pornografi. Buatnya pornografi hanya ketentuan yang tak usah dimasukkan dalam perundang-undangan. Ntar penerapannya jadi kacau, membingungkan dan jelas-jelas buat geli. Sebuah pentas teater yang sangat konyol dipanggungkan. Kisah yang menertawakan orang yang peduli soal-soal sederhana: tentang ukuran dan bentuk tubuh. Seakan-akan kisah itu memberi warta betapa naifnya mereka yang berjuang untuk urusan susila. Terbelakang, pandir dan tak tahu akibat. Ringkasnya kita kini hidup dalam kebebasan. Aturan mengenai itu tak perlu dan agama hanya urusan pribadi. Mereka cemas tentang aspirasi agama yang ingin mengurus semua. Kecemasannya melebihi soal-soal kemiskinan, akses pada pendidikan dan keadilan pada lapangan pekerjaan. Mungkin karena mereka tinggal dalam kemapanan ekonomi yang tak pernah kesulitan dengan urusan makan. Hidup mereka mirip dengan kisah panggungnya: lucu, gembira dan nyinyir.

Itu sebabnya ungkapannya begitu dingin, penuh ironi dan padat argumen. Seorang esais terkemuka bahkan dengan cerdik melukiskan dilema keimanan yang penuh dengan keloyalan. Ia menampikan banyak kisah bagaimana agama yang dipahami dengan ketaatan buta akan mengantarkan pada kebengisan. Sangat tidak masuk akal kalau urusan agama hanya soal larangan dan perintah. Buatnya Tuhan memang tak bisa dibatasi, didaya jangkau dengan kedisplinan yang kaku. Agama memang tidak menuntut kepatuhan seperti seorang serdadu. Esais yang terkemuka ini menampilkan banyak cerita yang mengagumkan. Ia seakan-akan mau memperlihatkan pesona agama yang lain. Bukan agama kegaduhan, menghakimi apalagi yang datang dengan sepucuk senjata. Kecemasannya sama dengan kelas sosial mapan yang lain: agama bukan nubuat untuk sebuah revolusi sosial. Agama sekedar sebuah pesan indah yang membuat penganutnya selalu bersahaja, mapan dan pintar. Itulah pandangan yang kini menebar di berbagai komunitas dan selalu asyik untuk didiskusikan ketimbang dijalani.

oleh: Eko Prasetyo

Bergeraklah, tidak hanya berhenti kita diskusi, bangkit dan maju melawan!!!

Senin, April 13, 2009

Islam..what do they want?

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

adalah Islam yang tinggal ahlaq, tanpa jihad,
adalah Islam yang tinggal ibadah, tanpa syari'ah,
adalah Islam yang boleh menyinari rumah-tangga,
namun bukan industri atau niaga,
adalah Islam yang boleh ada di masjid dan mushola, tapi bukan kantor pemerintah dan swasta,
adalah Islam yang boleh bicara tentang akherat,
tapi tidak tentang cara melayani rakyat,
adalah Islam yang diamalkan para pertapa shufi,
dan bukan para umara' yang peduli,
bukan alim ulama’ yang hati-hati,
bukan kaum aghniya' yang zuhdi
bukan pula mujahidin yang tak takut mati.
Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya
adalah Islam yang mengemis pada Barat,
bukan yang mampu menolong sendiri ummat,
di Bosnia, di Palestina, atau di Iraq,
di manapun ummat berkhidmat,
apalagi menolong dunia dari laknat,
future schock, disorientasi kehidupan,
kerusakan ekosistem, AIDS, narkoba,
dan kesewenang-wenangan kapitalis keparat.
Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya
adalah Qur'an dibacakan di masjid dan arena tilawah,
bukan di sidang kabinet atau mahkamah,
adalah Qur'an disampaikan ke orang mati atau sekarat,
bukan pada orang hidup yang sehat,
adalah Qur'an diajarkan di madrasah dan pesantren,
bukan di sekolah bisnis yang keren,
Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya
adalah Rasul sebagai panutan fatamorgana,
sedang selebriti kondang tetaplah idola,
bahkan terkadang Rasul pun sekedar,
tokoh historis yang juga bisa salah dan dosa.

Ya Allah, Islam seperti inikah yang kau janjikan sebagai rahmat bagi seluruh semesta?
Dan ummat seperti inikah yang Kau hadirkan sebagai yang terbaik ke tengah manusia?