Kamis, Juni 25, 2009

Selamat Datang Mahasiswa 2

“apabila Bung Karno tak mau mengucapkan pengumuman (proklamasi) itu malam ini juga, maka besok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah…”
(Wikana pada Ir. Soekarno)

Kalimat yang bernada ancaman itu tercetus pada saat peristiwa Rengasdengklok, dimana Ir. Soekarno dan Hatta diculik oleh Wikana, Chaerul Shaleh, dr. Muwardi, Sukarni dan kawan-kawan. Keduanya ‘dipaksa’ untuk mempercepat proses proklamasi. Entah jika tak ada peristiwa seperti itu, apakah kita bisa menikmati kemerdekaan sekarang ini. Karena kemerdekaan ini bukanlah hadiah dari Jepang apalagi bingkisan dari Belanda.

Begitulah masa emas pemuda, dimana mereka berani, punya konsepsi, aplikatif, dan sedikit nekad untuk cita-cita perjuangan mereka demi kemerdekaan, untuk bangsa dan negara. Sejalan dengan mereka, para pemimpin pergerakan kemerdekaan kala itu, mudah ditemui, dengan enteng diancam, tapi tak menurunkan wibawa, tak alergi kritik dan lantas tak pernah menyiapkan tuntutan hukum atas segala protes dengan kesalahannya. Tak ada nama baik yang dicemari dengan peristiwa tersebut. Tak ada kehormatan yang dilukai saat para pemimpin begitu berkawan dengan kritik kalangan pemuda pergerakan. Jika masa itu tak ada, bisa jadi Indonesia saat ini merupakan cabang dari pemerintahan negara Belanda.

Banyak orang bilang bahwa masa keemasan pergerakan pemuda itu adalah tuntutan jaman, dimana kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme jadi satu membentuk sebuah makna dari kondisi yang sulit dibantah: penindasan. Aku tak tahu, apakah orang-orang yang berpikir seperti ini adalah korban dari media yang bodoh atau pendidikan yang bebal, atau bahkan kombinasi dari keduanya. Karena ingin kukatakan bahwa dulu memang banyak mayat bergelimpangan di jalanan, di hutan, di laut. Dulu memang ada banyak bule yang lantang berteriak: inlander pribumi ekstrimis harus ditumpas. Namun mereka kini bermetamorfosis berkulit sawo matang dan mengeruk sumber daya alam dengan rakus. Duduk di balik meja, kong kalikong dalam ribuan mega proyek yang menyengsarakan rakyat. Tebak siapa yang bertanggung jawab atas gundulnya lahan hutan jutaan hektar. Lantas siapa yang menyebabkan banjir musiman, kebakaran hutan, kecelakaan yang terjadi di jalan, di laut dan udara. Apakah itu bukan penyebab mayat yang bergelimpangan juga? Itu belum dihitung orang miskin yang ditolak rumah sakit-rumah sakit karena tak kuat membayar biaya kesehatan, lalu meninggal dan jadi mayat. Mengerikan. Jika masih berpikir itu adalah takdir Tuhan, pendidikan agama dan sekolah anda telah gagal memberikan penjelasan tentang realita kehidupan.

Selamat datang pemuda...
Kini saatnya kita menjadi pemuda yang sesungguhnya. Karena kita adalah mahasiswa. Kita mengemban julukan yang penuh torehan emas dalam pentas sejarah perjalanan bangsa ini. Di pundak kitalah tumpu dan harap rakyat yang tak mampu menuntut hak asasinya dipikulkan. Bukan pada para pemimpin tua yang gila kekuasaan, yang tak tahu malu meski telah gagal memimpin. Buktinya setelah gagal dalam pemerintahan, mereka mencalonkan diri lagi. Kita yang harus menggantikan mereka. Kita harus mengembalikan kewibawaan bangsa ini. Lihat apa yang dilakukan Wikana dan kawan-kawan di atas.

Selamat datang mahasiswa...
Kampus ini adalah semaian intelektual, yang dengannya kita bertindak progressif, militan dan berani. Tempat kita belajar bukan hanya untuk paham, namun bagaimana dengan ilmu itu kita mampu merubah tatanan sosial yang kini menjadikan kalangan arus bawah semakin tertindas. Kampus bukanlah perpanjangan tangan dari industri dan instansi, yang dengannya kita terjebak di belakang meja dengan bertitel pegawai dan perut yang buncit. Biarkan mereka yang sekedar paham itu menjadi generasi penerus dosennya yang hanya sampai menjelaskan teori sosial dan tak mampu memberikan metode dalam merubah tatanan sosial yang ada. Ini jelas naif dan tak punya nyali.

Selamat datang mahasiswa...
Anda sedang meniti jalan yang kelak akan menentukan arah perjalanan hidup anda. Jika anda selalu dihantui oleh ketakutan _yang sering tak beralasan_ terhadap sebuah perubahan sosial, maka kelak anda akan menjadi korban dari realitas sosial yang enggan untuk anda rubah. Setelah kuliah anda mungkin akan menjadi pegawai yang mapan. Tapi tunggu, jika relitas sosial berkata lain. Misalnya ketika seperangkat aturan hukum memPHK anda, atau kebijakan kenaikan harga dari pemerintah yang diiringi pemotongan gaji anda per bulan. Itu sudah menjadi bukti atas beringasnya perangai realitas sosial yang dulu waktu mahasiswa enggan untuk anda rubah.
Maka hidup sebagai seorang mahasiswa adalah bagaimana menentukan dan bahkan merubah isi dari realitas sosial tersebut. Ini butuh keberanian. Ketika kampus menaikkan biaya kuliah, untuk memprotesnya butuh keberanian. Jika tidak, terima saja dengan ikhlas pada takdir, meski hati sakit dan dompet kempes. Karena memang kenyataannya kampus diyakini pelayanannya baik jika biayanya mahal. Ini jelas mirip kredo rumah bordil. Service baik asal anda bisa bayar mahal.
Kini kita belajar untuk menjadi seorang pemuda. Syukur jika mau meniru Nabi Ibrahim, yang berani menentang Namrudz yang sok kuasa. Karena jujur saja, makin banyak penguasa sekarang yang mirip-mirip Namrudz ataupun Fir’aun. Meski muka tak cakep, tapi penguasa sekarang ini tak tahu malu untuk menempel fotonya di kitab suci. Adapula yang bikin album musik disaat rakyat lagi susah dan terkena bencana yang estafet. Ada lagi yang meminta dihargai pengabdiannya dengan cincin emas. Orang yang sukanya tidur waktu kerja kog minta dihargai. Memalukan dan mengindikasikan kalau mereka jelas tak tahu malu.
Sosok pemuda adalah mereka yang punya harap dan cita yang mulia bagi bangsanya. Maka, sebuah keniscayaan manakala, mereka yang memiliki idealisme itu dipupuk dengan keberanian. Hingga kepada pemimpin yang tak berperikemanusiaan itu, lantang kita katakan: turun !!!

Selamat datang mahasiswa...
Ini bukan jaman SMA, yang pekerjaannya mengejar gebetan dan suka hura-hura. Selain bersyukur pada Allah SWT, saatnya kita berterima kasih pada komponen realitas sosial yang banyak mengajari kita tentang kehidupan. Mulai saat ini, asah kepekaan sosial kita dengan banyak ikut organisasi, untuk saling memahami kawan, menghormati lawan, dan setia kepada prinsip perjuangan. Karena rakyat yang kini digusur, selalu ditolak rumah sakit dan sekolah, yang tiap hari terancam tak makan, akan selalu menanti aksi-aksi kita. Jika anda tak mampu atau terlampau takut, hanya mau kembali pada masa-masa SMA: Selalu Maunya suka-sukA, maka ijinkan komputer ini dilempar ke jidatmu. Terakhir kukutip pesan dari Bung Karno berikut ini,
”Kalau pemuda sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa, pemuda yang begini, baiknya digunduli saja kepalanya...”
Terima kasih. Salam perjuangan.

Selasa, Juni 23, 2009

Selamat Datang Mahasiswa

oleh Eko Prasetyo

Yang membuat semua berjalan dengan teratur
Adalah rasa takut dalam diri kita masing-masing
(Bill the Butcher, Gangs of New York)

Hari ini kalian menjadi saksi dari tragisnya dunia pendidikan. Menjadi mahasiswa dengan bekal seadanya dan apa adanya. Seadanya karena tak banyak orang yang begitu beruntung mencicipi bangku kuliah. Hitung berapa banyak kawan-kawan SMA kalian yang sanggup untuk meneruskan kuliah. Bukan sekedar tinggal di kampus: tapi bertempat di lembaga perguruan tinggi yang terbaik dan paling baik. Kampus-kampus hebat itu bukan untuk kalian, tapi untuk mereka yang beruntung. Beruntung karena uangnya bisa mengongkosi sumbangan gedung, sumbangan sukarela, sumbangan kuliah dan bentuk sumbangan lainnya. Apa adanya karena bekal pengetahuan yang sangat minim. SMU hanya bisa mengajarkan kisah sejarah tragis, ilmu patriotisme yang naif dan pelajaran berhitung yang mencemaskan. Dan lagi-lagi kalian beruntung karena lolos ujian nasional. Singkatnya kalian menjadi mahasiswa bukan karena kecerdasan tapi lebih banyak karena keberuntungan dan kemujuran.

Saksikan wajahmu hari ini. Tidak anak-anak, karena kehilangan senyum dan belum juga dewasa, karena tak ada kemandirian. Wajahmu hanya setengah kanak-kanak dan separoh dewasa. Itulah wajah yang dibesarkan dalam pendidikan yang terlampau menganggung-agungkan foto 3×4. Apa yang bisa dipotret dari wajah yang patuh, takut dan tampak ragu itu. Foto itu hanya memastikan dirimu yang patuh, taat dan agak naif. Tak ada tawa, tak ada sinisme dan yang ada wajah beku tanpa perasaan. Wajah kalian menyiratkan kekuatiran demi kekuatiran. Kuatir kalau nanti tak dapat pekerjaan usai kuliah; kuatir jika nanti kuliah tak bisa dapat nilai bagus; kuatir kalau nanti tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya. Kuatir adalah ekspresi dari jiwa kerdil yang suka ditindas. Kampus dan sekolah kalian sebelumnya memang telah berhasil dan bahkan sukses menanamkan jiwa penakut. Sekolah hanya menuntut seorang itu seperti robot: taat jika diperintah, pintar dalam ulangan dan baik pada tingkah laku. Jika begitu maka yang tinggal dalam diri kalian hanya badan dan seonggok nafas. Karena memang nyali, kemandirian dan kemauan keras sesungguhnya telah dicabut. Sekolah telah menenggelamkan itu dan kita disadarkan melalui cetakan foto 3×4 itu.

Kini kalian menjadi mahasiswa. Golongan yang begitu dipuja habis-habisan. Katanya mahasiswa itu agen perubahan. Tak ada perubahan negeri ini yang terjadi tanpa tangan mahasiswa. Demo-demo mahasiswa yang selalu dimuat di televisi membuat namanya terkenal di mana-mana. Dulu ada mahasiswa yang diculik, dipenjara hingga dibuang. Heroisme mereka membuat mahasiswa jadi lambang kebanggaan. Rasanya belum sah jadi mahasiswa kalau belum pernah sekalipun ikut demonstrasi. Demonstrasi seperti sebuah keyakinan dalam diri mahasiswa. Tak salah jika orang berpendapat kalau kehidupan mahasiswa berkisah antara cinta, buku dan pesta. Menyenangkan dan mengagumkan. Lihat saja kakak-kakak mahasiswa yang ada di sekitar kalian: percaya diri, gembira dan sangat antusias. Kampus telah menyulap semua kesedihan jadi rasa riang. Kampus telah membuat ketakutan jadi kenekadan. Walau ada cerita buruk tentang mahasiswa tapi itu hanya menegaskan kalau mereka bukan kumpulan dewa. Mereka adalah manusia muda yang tak luput dari sikap ngawur dan tanpa perhitungan. Kalau anak muda kok selalu berbuat benar, lurus dan bijak: itu namanya bukan orang tapi robot yang bertampang muda!

Tapi hari ini kalian mengikatkan diri pada kehidupan kampus yang memiliki tradisi pendidikan yang buram. Tempat teramai di semua sekolah atau kampus hanyalah kantin. Sebaliknya tempat paling sunyi adalah perpustakaan. Kelaparan bukan menimpa orang miskin tapi mahasiswa-mahasiswa muda yang letih menerima bahan kuliah. Pelajaran tidak membuat cerdik tapi membikin lapar. Pelajaran bukan membuat berani tapi jadi begitu penakut. Apalagi kampus-kampus makin gemar mengurung mahasiswa dengan absensi yang sangat ketat, disiplin dan sangat menyengsarakan. Mahasiswa hanya kelihatan ramai, riang dan gempita kalau ada di luar. Dalam ruang kuliah mereka jadi umat yang diam, lembek dan penuh keraguan. Ruangan kuliah sudah sunyi dari perdebatan karena pengajaran dan pementasan tak ada bedanya. Kerumunan banyak peserta kuliah seperti dengung lebah yang tidak menggigit. Mereka banyak tapi tak ada apa-apa; mereka berpenampilan menawan tapi tidak punya pikiran tangguh. Mereka seperti barisan robot yang hilir-mudik mendapatkan nilai dan takut kalau dianggap bodoh, tolol dan tidak sempurna. Pendidikan kita hanya menginginkan yang terbaik dan tidak memberi tempat untuk mereka yang gagal. Pendidikan tiba-tiba punya kemauan untuk melahirkan malaikat bukan manusia. Sungguh cita-cita tolol dan amat kejam.

Lalu untuk apa sebenarnya kalian kuliah di sebuah negeri yang sudah remuk-redam? Jika pekerjaan yang kalian harapkan; siap-siaplah menjadi pengangguran. Ada banyak sarjana menganggur dan lebih banyak lagi sarjana yang bekerja sia-sia. Lulusan fakultas hukum jadi jaksa yang begitu gampang disuap, lulusan kedokteran jadi dokter yang mahal layanannya; lulusan ekonomi hanya jadi menteri yang akalnya hanya menaikkan harga. Mereka memang bekerja tapi bukan untuk sebuah layanan bermakna tapi kesia-siaan yang semu. Mereka memakai baju yang penuh kehormatan tapi mereka mengerjakan kegiatan yang tak terhormat. Dan kalian menjadi pelajar di sebuah negeri yang mengalami kesusahan. Kita bersekolah di sebuah tempat di mana kelaparan jadi hiasan jalanan dan kemiskinan hanya bahan analisa. Mandat kalian besar dan tenaga kalian begitu lemah. Sedangkan pendidikan gagal untuk menjelaskan realitas ini dan lebih banyak menampilkan mimpi dan fantasi. Pendidikan tak pernah mendekatkan kalian dengan alam sekitar dan hanya menjamu keindahan, kebanggaan dan kenaifan. Pendidikan telah membuat kalian bangga menjadi majikan dan gengsi jika menjadi orang apa adanya. Karena itu pelajaran paling bermasalah di pendidikan kita ialah membaca, menulis dan berorganisasi. Ketiga ilmu itu dikalahkan oleh bilangan demi bilangan. Membaca yang membuat kita kenal dengan dunia nilai; menulis akan mengenalkan siapa kalian sebenarnya dan berorganisasi akan membuat kita tahu makna kebersamaan. Ketiga pelajaran itu lenyap dan tidak dianggap penting. Semuanya ditumpas habis karena mandat sekolah kini mirip dengan tugas bimbingan belajar: hanya ‘meluluskan’ siswa!

Saatnya kalian sadar kalau pendidikan tak memberi apa-apa. Jika kutanya apa yang kamu senangi ketika sekolah, jawaban anak-anak SMU di semua tempat sama: saat istirahat, waktu pulang dan ketika guru tidak masuk. Sekolah yang kita ingat hanyalah pengalaman berteman, berkawan dan bergaul. Itulah yang diam-diam mematangkan emosi kalian, yang mendekatkan kalian dengan kenyataan dan membuat kalian memahami tentang keajaiban. Kini mahasiswa sepatutnya meletakkan itu dalam kerangka organisasi. Organisasi adalah jalan untuk mematahkan pengalaman sesat berfikir dalam pendidikan. Tempat berorganisasi paling ideal sampai sekarang hanya berada di kampus. Selama tinggal di kampus cobalah untuk aktif dalam organisasi karena itulah esensi dari pendidikan: mengalami, menyelesaikan dan mengerjakan semuanya secara bersama. Pendidikan bukan sebuah tempat untuk melatih kecerdasan semata. Pendidikan lebih dari itu, ia menanamkan nyali, ia menaruh kecurigaan besar akan kemapanan. Pendidikan adalah latihan kita untuk melakukan pemberontakan, menghasut pertanyaan dan melahirkan tata perubahan baru. Hanya dikatakan dewasa jika orang berani mengambil tindakan dan bertanggung jawab atas tindakannya itu. Organisasi dan gerakan adalah roh dari pendidikan tinggi; bukan kuliah dan diktat ujian. Yang terakhir itu hanyalah ornamen pendidikan; ada untuk sekedar menandakan bahwa di sana terdapat kegiatan belajar-mengajar. Ada karena itulah ganti rugi dari uang yang kalian sedekahkan ke kampus ini. Bukan saja kalian yang beruntung tapi kampus ini beruntung karena masih bisa ‘meyakinkan’ kalian untuk tinggal disini. Sebab masih banyak anak muda nekad yang tak lagi percaya terhadap apa yang anda percayai sekarang ini.

Itu sebabnya dari pendidikan terbaik muncul siswa terbaik. Pendidikan kolonial bisa melahirkan seorang yang bernama Tan Malaka. Pria yang pendiam dan sekaligus pemikir yang tangguh. Dari tanganya kita tahu pentingnya menanamkan semangat anti kolonialisme. Tan Malaka paham bahwa jiwa kemerdekaan tak bisa ditindas dengan segala cara. Ia menyatakan dengan keras: merdeka 100%. Melalui pendidikan hadir pribadi besar dan agung yang bernama Soekarno. Laki-laki yang menyatukan bangsa ini dan membuat deklarasi kemerdekaan paling sederhana. Juga muncul pria saleh dan tertib yakni Hatta. Juga tampil pria budiman tapi bersahaja yang bernama Sjahrir. Muncul pula seorang nekad yang begitu pemberani yang bernama Amir Sjariffudin. Dan masih banyak pendiri bangsa ini yang dulunya adalah siswa dari pendidikan kolonial. Mereka mungkin tak terlampau rajin mengikuti sekolah, mereka mungkin juga tak begitu berat membawa buku, atau bahkan kurang begitu antusias untuk ikut lomba-lomba. Tapi mereka berhimpun dalam sebuah blok politik untuk menjadi ‘pemberontak’. Karena nyali mereka kalian bisa menikmati negeri ini dengan semua kebrengsekanya. Karena mahasiswa-mahasiswa yang bertipe seperti mereka-lah maka kampus menemukan makna terdalamnya. Tempat dimana kebebasan organisasi dijamin dan kebebasan intelektual dijaga. Sjahrir, Hatta, Soekarno menjadi mahasiswa bukan sekedar keinginan mendapat pekerjaan tapi mereka membuat pekerjaan untuk bangsa yang mereka hendak bangunkan. Soekarno menyebut diri sebagai ‘penyambung lidah rakyat’ karena memang itulah tugas seorang terpelajar.

Kini kalian punya kesempatan untuk menjadi ‘pemberontak’. Mengikuti jejak-jejak mereka. Sjahrir nekad tak menyelesaikan studi karena tugas berat untuk memerdekakan Hindia Belanda. Hatta bahkan berjanji tak akan menikah sebelum negeri ini merdeka. Dan Soekarno membantah perintah rektornya untuk tidak ikut berbagai kegiatan politik. Mereka bukan kumpulan anak-anak muda dungu yang serba penakut. Menaati semua perintah tanpa mau tahu maksud dan kepentingan apa di baliknya. Mereka bukan pula anak-anak muda yang begitu kagum dengan nilai atau sebaliknya terlalu mengkerdilkan makna belajar. Mereka seakan tahu bahwa kesempatan untuk kuliah ini merupakan ‘hutang’ yang harus dibayar. Mereka seolah tahu bukan karena biaya, kesempatan dan kepintaran mereka menjadi mahasiswa; tapi pengorbanan sekian ribu rakyat yang menderita. Mereka menjadi kaum terpelajar di sebuah negeri yang masih dijajah. Mereka memang ada yang tidak berhasil menjadi sarjana; tapi mereka lulus dalam ujian kehidupan. Mereka memerdekakan negeri ini. Jadi, kampus akan menjadi tempat yang membuktikan siapa diri kalian sebenarnya: anak penakut yang selalu kuatir pada masa depan sehingga mengikuti apa saja yang dinyatakan; atau anak pemberani yang merasa bahwa tugas menjadi mahasiswa bukan sekedar kuliah-kuliah-kuliah. Tugas jadi mahasiswa, persis seperti dibilang Hatta, penggerak akal sehat dan pecinta akal-budi. Karena itulah alasan yang patut kalian tinggal dan berada di kampus ini.
Ya, selamat datang mahasiswa!!!

Gie

"Iranya ada tante?" Tanya Gie.

"Iranya sudah tidur"

Pernyataan dingin dari Ibu Ira itu, sontak membuat Gie tertunduk. Sesaat
ia berbalik setelah mengucap salam, dan keluar pekarangan ia menutup gerbang. Gie tertawa masam atas ini semua.


Cuplikan kecil dari film garapan Riri riza itu, sesaat memang mewakili
sosok-sosok Gie yang berada di luar sana, saat ini.

Kesibukan mereka membangun basis massa, merajut tali informasi, dan memperluas jaringan, praktis melumpuhkan sektor privasi macam hubungan Gie dengan Ira. Apa pasal? Sosok ibu Ira itu, mayoritas mewakili ibunya Ira-Ira yang lain. Betapa, beliau hanya ingin melihat kebahagiaan putrinya nanti, dan itu dilihatnya nihil pada sosok Gie. Gie yang seorang praktisi jalanan (baca: “tukang demo”), protes sana-sini, selalu berurusan dengan basis militer, serta hanya berteman dengan mesin tiknya yang butut untuk menulis artikel bernilai tak seberapa untuk penghidupan, dilihat para orang tua macam ibunya Ira sebagai pembawa kenestapaan hidup bagi putri tercinta. Untuk itu sebuah pernyataan “Ira sudah tidur” praktis terlontar. Halus memang, untuk melarang Gie bertemu dengan Ira. Daripada akan terlontar, “Jangan temui Ira lagi!” atau “Pergi sana, jangan ganggu kami!”

Kenestapaan Gie dalam hubungan sosial memang seperti itu. Sosok idealis Gie membuatnya dikucilkan dari ranah publik yang selama ini dilawannya. Nestapa, mungkin bagi kita, namun untuk orang-orang yang membangun jiwa idealis macam dia, adalah sebagai jalan hidup, mau tak mau, menghindar seperti apapun, pasti akan dilewati juga.

Mawaddah yang coba Gie bangun sebelum pertemuan dua jiwa dalam azwaajan yang dibingkai dalam pernikahan yang sah, memang terlarang dari segi syar’ie, namun bukan itu kajian utamanya.

Sosok orang tua macam ibunya Ira, memang mayoritas jadi wakil tunggal bagi orang tua yang lain. Wujud Gie, yang selalu terlibat resiko jauh dari harapan orang tua yang putrinya bahagia.
Patron idealisme yang dipegang, memang menjauhkan Gie dari kemapanan yang bisa dia peroleh, dan disinilah lagi-lagi ia menemui kenestapaannya. Harapan orang tua agar yang melamar putrinya itu mapan, minimal lebih dari cukup untuk dipandang sebagai seorang ”suami”, tak ada dalam sosok yang penuh pertaruhan dan resiko macam Gie.

Barangkali itulah kenapa idealisme semakin menjadi monumen yang membatu, berprasasti: hanya bagi orang-orang yang ingin kesepian selamanya. Tuntutan pragmatisme hitam semakin menggiring arah idealisme ke jurang terdalam, jatuh tersungkur, dan mati di kelamnya hati.

Saat ini, di luar sana, sosok seperti Gie berhamburan bak kacang goreng di pasar malam. Dilandasi kaderisasi gerakan yang mapan, akses informasi yang semakin mudah, serta ruang gerak yang semakin terbuka, memungkinkan saat ini Gie terlahir kembar beratus-ratus di setiap lingkungan kampus. Tapi jangan diharapkan adanya kesamaan idealisme mereka dengan Gie.

Ketika berhadapan dengan para politisi senior yang dilihatnya sebagai badut menor, Gie berujar ”Kini mereka telah mengkhianati perjuangannya sendiri. Kita generasi muda, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau.”

Kini pragmatisme kalangan muda begitu jelas kentara, tuntutan idealisme luruh melihat kegiatan yang kekurangan dana, sekretariat yang habis masa kontraknya, atau roda organisasi yang macet akibat oli berupa rupiah tersendat.

Tawaran pragmatisme dari kalangan senior pun semakin kencang, iming-iming penghasilan menggiurkan di masa depan menjadikan gerakan berorientasi ke pembenaran bukan kebenaran yang terbangun dari idealisme.

Pun itu yang ada di jalur politik, lantas bagaimana di luar itu? tak luput. Tawaran gaji besar di sebuah perusahaan, meluluhlantakkan idelisme (lagi). Padahal ketika masih bernaung dalam gerakan, diketahui perusahaan itu pernah diprotes akibat tidak membayar gaji karyawan selama sekian bulan, pembangunan gedungnya yang tidak mengindahkan tata ruang kota, eksplorasi berlebih pada kekayaan alam negeri, yang pada intinya perusahaan yang ia bekerja sekarang adalah perwujudan dari bangsa kapitalis, dimana dulu mungkin teriak: tangan terkepal maju kemuka, hantam para kapitalis, satu komando satu perjuangan, merdeka!! (hehehe).

Namun kini? Ah…lagi-lagi sosok Gie begitu dirindukan.

Ataupun mereka yang berada di dunia birokrasi berbaju coklat krem (baca: PNS). Apalagikah ini? Lembaga dimana hampir setiap hari kita menggerutui setiap kebijakannya, kini kita berada dalam wadah yang sama, terbelenggu tak bisa bergerak.

O, tidak. Jangan kau katakan tentang surat AshShaff:2, "Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?"

Dan kini, cita-cita dan konsep membangun peradaban lewat bertalinya dua jiwa, dala satu pasangan hidup, yang terbingkai menuju hubungan yang sakinah mawaddah, dan kasih sayang, haruskah tertunda dengan kebersikukuhan memegang idealisme? Insya Allah, tidak.

Karena Dia berjanji:"…Dan wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik…" (AnNur:26)

Dan Gie pun menemukan Ira-nya sendiri di bukit Pandalawangi, kesendirian. Gie menikahi kesendiriannya dalam tidurnya yang panjang.

"Saya ingat situasi sulit daripada orang-orang yang idealis (seperti saya??). Yang barangkali harus bertempur dua front. Melawan lingkungannya sendiri dan melawan musuh-musuhnya di luar. Hidupnya adalah kesepian abadi"


wallahua’lam….

Jumat, Juni 12, 2009

Kita

Kita..
adalah generasi baru
ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengancam
kita akan menjadi hakim
atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua
kitalah generasi yang akan memakmurkan di Indonesia/negeri ini..

yang berkuasa sekarang
adalah orang-orang yang dibesarkan di zaman hindia Belanda
mereka adalah pejuang kemerdekaan yang gigih
tapi kini mereka telah mengkhianati apa yang diperjuangkannya
dan rakyat makin lama makin menderita
"aku bersamamu orang-orang malang..."

siapa yang bertanggung jawab akan hal ini?
mereka? generasi tua?
semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak mati di lapangan banteng!

cuma pada kebenaran kita bisa berharap
dan radio masih berteriak2 menyebarkan kebohongan
kebenaran cuma ada di langit
dan dunia hanyalah palsu.. palsu!