Jumat, Mei 01, 2009

Peran KAMMI dalam Penyehatan Demokrasi di Daerah

Oleh: Bidang Kajian Strategis KAMMI Indramayu

Peran sebagai oposisi konstruktif adalah bagian dari perjuangan KAMMI dalam mengawal cita-cita menuju masyarakat madani. Peran disini tentu dalam wilayah gerakan politik di luar parlemen.
Parlemen bisa kita artikan sebagai kelompok orang yang membuat kebijakan-kebijakan untuk hajat hidup ummat dalam sebuah tatanan demokrasi. Maka tugas dan peran dari oposisi itu sendiri adalaah mengingatkan bilamana terjadi sebuah penyimpangan yang merusak tatanan kehidupan demokrasi. Peringatan itu bisa diwujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi, audiensi maupun advokasi terhadap kebijakan atau rancangannya yang muncul.

Jika dilihat, peranan KAMMI sebenarnya mirip istilah yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci (Eko Prasetyo, 2005: XXVI), yakni cendekiawan organik. Sekelompok cendekiawan organik inilah yang bisa menciptakan arus sendiri dalam berbagai aliran arus yang mengalir dalam kehidupan demokrasi. Sedang cendekiawan organik sendiri adalah kalangan terdidik yang tidak hanya berdiri di belakang gerakan yang sedang masif. Ia tidak hanya mengomentari berbagai kejadian yang terjadi. Namun mereka turun dan bergerak serta menggerakkan massa untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih baik.
Dan dalam kehidupan demokrasi, peran daripada cendekiawan organik begitu penting. Peran partisipasi masyarakat sebagai indikator keberhasilan demokrasi harus diupayakan, dan ini tidak akan terwujud manakala disebabkan beberapa hal perwujudan partisipasi itu tersumbat. Otoriter yang berkuasa bisa menjadi satu sebab. Dan untuk membuka penyumbatan inilah perlunya kalangan terdidik untuk bergerak dan menggerakkan massa menuju sebuah tanan demokrasi yang dicita-citakan.

Sebenarnya yang terjadi ketika otoriterisme berkuasa, adalah adanya sebuah upaya sistemik untuk merangkul dan mematikan di satu sisi yang lain fungsi dan peran dari elemen-elemen demokrasi yang lain. Seorang penguasa, jika kita mengandaikan demokrasi adalah sebuah lingkaran, maka dia berada di satu sisi lingkaran, sedangkan berderet di sisi lingkaran yang sama berjajar: rakyat, media massa, hukum, partai politik, dan mahasiswa. Ini adalah lingkaran independensi dalam kehidupan demokrasi yang sehat. Namun terkadang sebuah momentum dukungan dan simpati rakyat terhadap seseorang, bisa menjadikan sebuah kendaraan untuk mengantar secara perlahan dukungan simpatik menjadi laku tiranik.
Hal ini suatu ketika pernah diungkapkan Solon bahwa kepercayaan rakyat memang manis, namun pada saat yang bersamaan ia mengkhawatirkan tak ada jalan untuk turun.

Dengan simpati rakyat, secara perlahan dibangun pencitraan positif secara simultan di media massa. Media massa pun bisa digandeng ketika oplah mereka dibeli oleh penguasa. Akhirnya dengan manuver politik tertentu, partai dan pihak oposisi ’dibunuh’ secara perlahan. Kini tinggal elemen hukum dan akademisi atau mahasiswa. Hukum pun tak bisa berbicara banyak ketika lini pelapor, saksi, dan hakim dibungkam oleh calon tersangka. Arus pragmatisme yang menjangkiti mahasiswa dan akademisi makin membesarkan pohon otoriterisme tersebut.
Setelah ototriter ini mengokohkan akarnya, barulah sedikit banyak penguasa ini bisa mengumbar perilaku tiraniknya ke tengah publik. Agama sebagai lembaga yang berperan mengendalikan tananan nilai tak bisa berbuat banyak. Bahkan ketika oknum pemuka agama sudah menjadi budak-budak penguasa, agama pun bisa dilecehkan dalam suatu kesempatan. Meskipun salah, ada media yang menganulir kesalahannya.
Inilah sebagian kondisi ketika demokrasi mati suri.

Akhirnya di tangan mahasiswalah kehidupan demokrasi itu harus dibangkitan. Peran yang bisa diambil kembali kepada fungsi mereka sebagai agen kontrol dan berlaku sebagai cendekiawan organik.
Hal pertama yang dilakukan secara teknis adalah bergerak di tataran gerakan politik, bisa jadi menyadarkan peranan partai politik bahwa ada peran dari mereka dalam demokrasi yang diambil alih secara tidak benar oleh satu arus kekuasaan. Atau bisa jadi menghidupkan kembali tokoh-tokoh mati yang pernah ’dibunuh’ oleh rezim tersebut.

Akhirnya sudah dua yang sudah bisa terlepas dari lingkaran setan yang tercipta dari arus kuat tersebut. Mahasiswa bisa berjalan dengan aksi-aksi demonstrasinya, sedangkan elemen parpol bisa berjuang dalam tataran lobi dan penempuhan jalur-jalur hukum maupun relasi politik yang masih bersih.

Ini bisa menjadi berita yang menggerakkan elemen media massa untuk meliput meski ketika berita turun masih saja ketimpangan pemberitaan bisa terjadi. Namun dari massa riil parpol dari elemen rakyat bisa tersadar akan sebuah kondisi yang memprihatinkan dalam kehidupan demokrasi. Separuh dari sebagian rakyat sudah terlepas dari arus otioriter itu.
Namun sekali lagi, sebuah nilai otoriter yang mengakar, secara perlahan tidak akan disadari secara masif oleh rakyat. Maka perjuangan tersebut tidak mudah. Namun jika hal ini bisa berlangsung secara progresif dan simultan, maka upaya minimal adalah terciptanya dua arus, yakni arus kekuasaan di satu sisi dan arus oposisi konstruktif di sisinya yang lain. Hal ini demi terwujudnya sebuah tatanan demokrasi yang bersih dan berwibawa tanpa ada embel-embel otoriter.

Sampai disini, masih adakah yang belum percaya bahwa pasca reformasi masih ada perilaku otoriter dari penguasa dan bahkan sudah menjadi sistem tersendiri pada sebuah wilayah? Jika tidak percaya, marilah jaulah ke bumi Indramayu dan KAMMI disini akan suguhkan fakta empirisnya.

Tidak ada komentar: