Minggu, Maret 15, 2009

"Aku tak lagi takut" Kata Tiran

Untunglah kami hidup pada saat era transisi sekarang. Meski demokrasi masih bermuka
cemong disana-sini, tapi minimal ada sedikit kelegaan manakala upaya kritis kami tak
berujung stempel subversi. Sistem demokrasi atau apapun namanya lah, yang jelas saat
ini ceritanya lain dibanding senior-senior kami yang kini tlah beranak cucu yang hidup
pada era sistem diktator dahulu.
Kalau dulu, kata salah satu senior kami, mengadakan diskusi pun harus sembunyisembunyi,
rahasia sekali, padahal cuma diskusi keilmuan. Lalu jika ketahuan, maka kami,
lanjut abang, akan ditangkap dan dikenai pasal subversif atau perbuatan makar terhadap
pemerintah yang sah, masih untung jika dihukum penjara, kebanyakan langsung di 'dor'
di tempat, ngeri nggak tuh?
Maka syukur ribuan kali, jika anugerah ini telah diberikan pada kami. Meski diskusi di
alam terbuka, tempat umum yang ramai, tak ada aparat pun yang berani menangkap,
apalagi menuduh subversif. Lalu apa kerja intelijen?
Intelijen masih tetap ada, entah saat aksi lapangan mereka menyusupkan orang-orang
suruhan sebagai provokator, atau memantau aktivitas kami. Dimana kami diskusi, siapa
saja yang datang, dan apa yang sedang kami bahas, mereka akan tahu. Entah apakah
diantara kami ada yang menjadi binaan mereka, yang jelas, tiap kami diskusi mereka
selalu ada disana, memperhatikan kami.
...
Tapi entahlah, ketidak takutan pemerintah terhadap kami seakan berujud nyata, yakni
kami tak pernah diancam, aman-aman saja. Bahkan tiap aksi lapangan yang menciderai
aparat pun, tak ada dari kami yang ditindak. Aneh? Heran?
Tidak usah merasa seperti itu. Pemerintah beserta aparatur bersenjatanya, hanya
melihat mahasiswa sebagai kumpulan manusia-manusia yang nanti akan dimanfaatkan
sebagai proyek pembangunan mereka, sebagai objek tentu, bukan subjek. Lalu buat apa
takut, toh yang selalu menjadi topik pembicaraan dari bibir-bibir kaum akademisi ini
hanya berkutat pada apakah tampilannya sudah 'mode follower', hilangkah jerawat dari
muka gue, atau masih ada nggak ya ketombe di rambut gue
dan ujung-ujungnya pun hanya berkutat pada arena hedonistik. Kebejatan moralitas,
yang kata Pengamat Pendidikan Arif Rahman Hakim, bermula dari pendidikan ini yang
hanya merangsang kemampuan di ranah kognitif, pola kemampuan otak kiri. Maka
pendidikan brengsek ini harus dihentikan, tapi itu kata saya. Kata pemerintah kan
berbeda pula pendapatnya. Yang penting ada perubahan kulit yang bisa menjadi ladang
proyek, untuk penambahan daftar kekayaan yang sangat luar biasa berguna bagi
pemanjangan kekuasaan. Dan mereka berhasil. Berhasil menghentikan arus kritis dari
pihak yang dianggap potensial menjatuhkan mereka yang bejat.
Sarang-sarang mereka yakni kampus, dibuat sedemikian padat oleh aksi hura-hura.
Pentas band, lomba karaoke, dangdut, dan ajang adu bakat menjadi rutinitas abadi di
gerbang-gerbang ranah akademis. Dan sukses, mahasiswa dan mahasiswi yang manis,
lucu, dan lugu minta ampun itu terjaring dalam jala-jala yang sengaja dirajut oleh
pemerintah sekarang.
Agar tak ada lagi protes, tak ada lagi demonstrasi, agar kuasa mereka bisa panjang. Jika
pun protes, hanya berupa riak-riak kecil tanpa arti.
...
Dan kini, tanyakanlah pada ego kita, pada siapa buruh itu mengadu ketika penindasan
oleh perusahaan dimana ia bekerja masih terus terjadi, mereka tak mengerti jalur hukum
di negeri ini. Pun begitu dengan petani, harga jual beras yang murah, tak sebanding
dengan pengeluaran mereka. Sedang tengkulak selalu berada di atas angin dalam
kondisi seperti ini. Apalagi kasus padi 'super toy' dan 'MSP' kemarin telah merugikan
mereka. Sekali lagi, 'kawula alit' masih menjadi objek dari kebijakan yang brengsek. Dan
lebih brengsek dari itu adalah kita yang hanya diam melihat kebrengsekan itu terjadi. Yah
kita memang brengsek, maka tak seharusnya para tiran takut dengan kita.
...

Tidak ada komentar: