Sabtu, Juli 04, 2009

Cerita Tentang Kampus

“Bisnisnya bisnis adalah mencari keuntungan, bukan kepentingan umum. Tak perlu permintaan maaf…” (the Economist)


Sudah lama aku jarang ke kampus, selain dosen pembimbing skripsi yang agak susah untuk ditemui, kampus yang kini aku huni sudah tidak kondusif untuk mahasiswa sepertiku. Maksudnya untuk mahasiswa berkocek tipis seperti aku, datang ke kampus yang kian hari bangunannya kian megah itu membuat aku minder. Di kanan kiri sepanjang jalan banyak berkibaran panji-panji iklan rokok, kemudian hilir mudik pula para mahasiswa yang berdandan ala boy band dan tak ketinggalan para mahasiswinya bergaya ala model iklan shampoo anti ketombe yang baru keluar dari salon kecantikan.

Sering aku berpikir, membandingkan antara kampusku dengan pusat perbelanjaan di kota tetangga. Baru dua minggu kemarin, ada sebuah promosi dari layanan operator seluler. Handphone ku yang monophonic langsung kusembunyikan dalam-dalam di kantong celana. Minggu ini juga, sedang diadakan sebuah ajang kecakepan di kampusku. Catat, bukan adu kecakapan. Cakep jelas beda dengan cakap, meski cuma satu huruf tapi beda jauuh gitu. Satu kata cakep itulah yang menjadi parameter dari ajang adu cakep itu, meski panitia berkilah dengan berdalih mensyaratkan berpenampilan menarik, tapi apa bedanya ya. Itulah kadar subjektif aku dari penilaian untuk ajang tersebut. Dan ajang tersebut memang memunculkan pemenang yang menurut objektifikasi publik sebagai mahasiswi yang cantik dan mahasiswa yang tampan. Buktinya, di ajang itu tak ada diperlombakan mahasiswa yang cerdas dan ‘cupu’. Semuanya wajib bin kudu berdandan menor dan berlenggak-lenggok seperti punuk-punuk unta di padang pasir.

Audisi ini mirip pencarian bakat di televisi, di mall, dan di tempat hiburan lainnya. Jelas khan, kampus juga serumpun dengan tempat hiburan. Bagi kamu yang boring di tempat kost-an atau rumah kamu mending kamu ke kampus, disini ada konser musik, ada juga gedung bioskop, dan ada juga tari perut. Komplit khan, pasar malam saja kalah.

Banyak kegiatan akademik di kampus, juga tak pernah memberi ruang yang bebas untuk mahasiswa dalam berdiskusi, mendebat dosennya, hatta membuat gerakan sosial yang mengakar. Semuanya seremonial demi target Sarjana. Kampus sepi dari dinamisasi mahasiswa dalam mengembangkan intelektualnya. Taklid buta pada dosen pun dikembangkan. Kata almarhum Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana, anaknya Sutan Takdir Alisyahbana itu, kampus sekarang seperti menara gading, jauh dari apa yang seharusnya bisa dilakukan oleh kampus terhadap lingkungan sosial dimana kampus itu berdiri. Lihat saja, mereka yang kuliah di Fakultas Keguruan, ada tidak yang diberi tahu kalau orang miskin dilarang sekolah, lantas apa gunanya slogan ‘education for all’ yang kini mereka peroleh. Kalau anggaran pendidikan dari APBD cuma 6 % mereka mau apa? Tak ada, karena mereka berada di atas menara gading, sunyi, buta dan tuli dari realita yang terjadi. Jika pun mendengar, apa yang bisa mereka lakukan sedangkan tangan itu tak sampai menyentuh ke bawah.

Kita, para mahasiswa, sengaja dibuat bodoh oleh regulasi yang mencekik leher. Kampus kini memakai kredo rumah bordil, servisnya bagus asal bayarannya mahal. Sehingga manfaatkan baik-baik bayaran tersebut, jangan macam-macam, kuliah saja yang bener. Sering khan mendengar kata-kata ancaman seperti ini? Itulah ancaman yang sering aku dengar dari para birokrat kampus. Kenapa sih kog mereka mengancam seperti itu? Selintas ada benarnya. Kenapa pula kuliah ini makin padat dan kita harus cepat-cepat lulus? Selintas ada baiknya. Ini doktrin, kawan. Pola indoktrinasi seperti ini memang dipesan. Loh siapa yang memesan? Lantas untuk apa memesan. Waduuh..ngobrol sama kamu rupanya memang harus jelas saja. Baik, aku jelaskan.

Pendidikan kita siapa sikh yang ngatur? Pemerintah khan? Tentunya ini lewat Mendiknas. Nakh dari Mendiknas ini, usut punya usut kebijakannya sampai di rektor kamu. Dari rektor langung ke dekan, nakh dari dekan dita’limatkan ke Ketua Jurusan. Dari sinilah kebijakan itu kamu ‘nikmati’. Beberapanya ada kepentingan politis, misalnya universitas di daerah, biasanya kepala daerahnya juga mengambil peran, bahasa kerennya vested interest. Tapi cukup jelas khan, karena yang pasti pendidikan yang kita jalani sekarang ini memang dipesan oleh pemerintah.
Sempitnya ruang diskusi, minimnya sarana penyaluran aspirasi, dan tertutupnya kebijakan-kebijakan kampus adalah buah pahit yang harus kamu telan mentah-mentah. Akses anggaran kemahasiswaan kamu akan lebih mudah jika proposal kegiatannya berupa ajang adu cakep tadi, atau konser musik, bisa juga nontor bareng film hantu. Para peraup keuntungan dari kalangan kapitalis pun akan berlomba-lomba menunjukkan wajah manisnya dengan menjadi sponsor. Setali tiga uang dengan pihak rektorat yang menjalankan usaha: bisnis pendidikan. Meski kamu kuliah di fakultas hukum, kamu harus dituntut mahir berjualan produk sponsor. Maka jangan heran jika kamu menjadi pengacara kelak, yang dipikirkan olehmu hanyalah laba dan keuntungan materi. Lantas klien dari kalangan orang miskin akan kamu tendang seenaknya. Hebat bukan buatan.

Dan sekali-kali, cobalah ajukan proposal kegiatan training budgeting. Cantumkan tujuan kegiatannya, sederhana saja, kalau kamu ingin bisa mengetahui ada pejabat yang korupsi dana APBD. Bersyukurlah jika rektorat memberi dana, dan kamu harus bersimpuh di kaki mereka jika mereka menanggung seluruh biayanya. Tidak dimarahi saja kamu masih beruntung.

Kalangan stakeholder kita terlampau takut jika kita sedikit cerdas dan berani, ya sedikit saja. Karena itulah, semua kegiatan kemahasiswaan yang membuat para mahasiswanya menjadi lugu, lucu dan tak tahu malu itu selalu dibudidayakan. Agar kita bodoh, itu jelas dan sengaja. Karena memang kita terlampau lama bodoh dan dibodoh-bodohi. Kalau para mahasiswa menjadi cerdas dan berani, mereka akan takut bobroknya terbongkar. Ini logika sederhana, kawan. Kamu tak usah kuliah di filsafat untuk paham masalah ini.
Itu saja dulu kawan, maaf jika aku sering menohok kebodohan kalian. Sengaja. Biar kita sadar ada musuh bersama yang harus dilawan. Terima kasih, itu saja. Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

hanya sebuah otorefleksi