Minggu, Mei 31, 2009

Rekayasa Sosial

Berikut adalah ringkasan dari buku,

JUDUL : REKAYASA SOSIAL: REFORMASI, REVOLUSI, ATAU MANUSIA BESAR
PENULIS : JALALUDDIN RAKHMAT
PENERBIT : REMAJA ROSDAKARYA
TEBAL BUKU : 223 HALAMAN
TAHUN TERBIT : 1999


Buku ini pada intinya berisi argumentasi penulis yang mengatakan bahwa perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus diawali dengan perubahan cara berpikir. Tidak akan mungkin perubahan dapat terjadi jika manusia masih terjebak dalam pola pikir yang salah. Hal ini pula yang menjadi misi penulis dalam menerbitkan kumpulan materi kuliah ini menjadi sebuah buku, yakni untuk merubah pola pikir masyarakat yang sering kali oleh pihak-pihak tertentu diberikan pengacauan intelektualitas, demikian istilah penulis untuk menggambarkan kondisi ini.

Ketika membahas masalah sosial maka kita juga perlu untuk membahas berbagai bentuk dari kesalahan pemikiran yang digunakan manusia dalam memperlakukan masalah sosial yang disebut oleh para ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan pemikiran. Penulis mengungkapkan ada dua jenis kesalahan berpikir, yakni intellectual cul-de-sac yang terjadi akibat penggunaan logika yang tidak benar dan mitos, yaitu sesuatu yang tidak benar, tetapi dipercayai oleh banyak orang termasuk oleh para ilmuwan. Dua bentuk kesalahan ini acapkali menghampiri kita dan membuat pemahaman kita terhadap masalah sosial yang dikritisi menjadi tidak tepat dan pada akhirnya tidak bisa menemukan solusi tepat.

Secara umum, intellectual cul-de-sac terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

a. Fallacy of Dramatic Instance
Pemikir jenis ini biasa melakukan apa yang disebut penulis sebagai over-generalisation, yakni penggunaan satu atau dua kasus untuk menggambarkan kondisi sebara umum (general). Padahal setiap masalah meskipun memiliki kesamaan tipe pastilah berbeda secara kondisional. Kita tidak jarang melakukan over-generalisation ini saat memandang dan menilai seseorang atau sesuatu.

b. Fallacy of Retrospective Determinism
Istilah ini menggambarkan kebiasaan orang untuk melihat suatu masalah sosial yang sedang terjadi dengan melacaknya secara historis dan menganggapnya selalu ada dan tak bisa dihindari. Kerancuan seperti ini pada akhirnya membuat kita bersikap fatalis, menyerah pada keadaan, dan selalu melihat kebelakang. Akhirnya, ide-ide untuk mengeluarkan gagasan-gagasan perubahan tidak bisa diaktualisasikan. Misalnya, orang yang berpendirian tipe ini akan menganggap masalah kemiskinan sebagai masalah yang sudah sejak dulu ada sepanjang sejarah bangsa dan tidak bisa diberantas, maka untuk apa kita meributkan upaya untuk memberantas kemiskinan itu? Bayangkan kalau setengah saja dari populasi rakyat Indonesia berpikiran seperti ini maka kemiskinan akan sangat sulit diberantas.

c. Post Hoc Ergo Propter Hoc
Maksudnya apabila ada satu peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyebabkan hal pertama sebab dan hal kedua akibat. X datang sesudah Y, maka Y dianggap sebagai sebab dan Y akibat. Padahal keadaan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa tsb. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh :
Ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak lain hanya karena orang tua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi lebih stabil setelah kelahiran anak kedua. Ketika zaman anak pertama, keadaan jauh lebih buruk. Orang tua itu berkata : “inilah anak emas saya. Anak ini selalu membawa keberuntungan”. Itulah sebabnya orangtua lebih mencintai anak keduanya daripada yang lain.
Pemikiran tipe ini dapat mengakibatkan kita tidak tepat dalam melihat sebab dan akibat dari suatu permasalahan sosial dan akhirnya tidak tepat dalam menentukan solusi untuk mengatasinya.

d. Fallacy of Misplaced Concretness
Tipe ini bisa dimaknai sebagai kekeliruan berpikir yang terjadi karena kita seolah-olah menganggap persoalan yang sedang dibicarakan itu konkret padahal pada kenyataannya ia sangat abstrak. Atau dapat dikatakan, kita mengonkretkan sesuatu yang sejatinya adalah abstrak. Misalnya ada pertanyaan: mengapa umat islam secara ekonomi dan politik lemah? Jawabannya : kita lemah karena sistem. Saat ini kita kembali ke zaman jahiliyah. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya : kita harus mengubah sistem, tetapi sistem itu sendiri pada dasarnya abstrak. Dan kita memandang sistem itu mudah berubah karena kekonkretannya. Contoh lainnya adalah ungkapan yang mengatakan: ”ini semua sudah takdir Allah”. Ketika terjadi permasalahan sosial dan kita menganggapnya sebagai takdir Allah, maka selesailah sudah perdebatan karena orang cenderung merasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan.

e. Argumentum ad Verecundiam
Berargumen atas dasar otoritas. Ada orang yang sering kali berbicara menggunakan otoritas yang telah diakui keberadaannya sebagai dasar pijakan yang kuat baginya untuk berargumentasi. Padahal kalau mau ditelusuri, secara kontekstual, ia bisa saja dipahami secara berbeda. Orang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri.
Misalnya : si A mengutip ayat al-Qur’an untuk memaksa lawannya berhenti dengan argumentasinya (apabila ia membantah ayat tsb dikatakan kafir karena tidak mengindahkan perintah yang ada dalam Qur’an). Padahal bisa saja timbul perbedaan pendapat dalam interpretasi makna ayat tersebut. Dan kalaupun si B ingin membantah yang ingin ia katakan adalah penyalahgunaan otoritas Qur’an bukan pada ayat itu sendiri.

f. Fallacy of Composition
Untuk tipe pemikiran ini, penulis telah memberikan contoh yang menarik, yakni ketika ada satu keluarga disatu kampung yang memelihara ayam petelor mendapatkan untung besar. Melihat itu, berbondong-bondong masyarakat di kampung itu latah beternak ayam petelor dengan harapan bisa meraih untung besar. Akibatnya, mereka semua satu penduduk itu bangkrut karena banyaknya pasokan telur tidak diimbangi dengan permintaan pasar.

g. Circular Reasoning
Artinya logika yang berputar-putar. Pembicaraan yang dilakukan tak terarah dan mengulang hal-hal yang telah dibicarakan sebelumnya.

Sedangkan mitos, penulis membahas dua jenis mitos, yaitu:

a. Mitos Deviant
Mitos ini berawal dari pandangan bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidak berubah-ubah. Kalaupun terjadi perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang stabil. Mitos ini berkembang dari teori ilmu sosial yang disebut structural functionalism (fungsionalisme struktual). Menurut teori ini, kalau mau melihat perubahan sosial, kita harus mau melihat struktur dan fungsi masyarakat. Jadi kalau ada dinamika sosial, maka harus ada statistika sosial.
Analisis fungsional bisa dilakukan, misalnya dalam memandang persoalan kemiskinan. Kemiskinan meskipun ia tidak diinginkan, namun secara fungsional tetap diperlukan. Orang miskin diperlukan untuk melakukan pekerjaan2 berbahaya yang tak mungkin dilakukan orang kaya, orang miskin memberikan pekerjaan kpd LSM yang meneliti prospek kemiskinan di suatu negara, dll.
Jika analisis fungsional ini terus menerus dilakukan dan dijadikan rujukan, kita bisa menjadi pro status quo. Kita melihat perubahan tidak lagi sesuatu yang diharapkan. Misalnya pelacuran, akan dianggap memiliki fungsi untuk mencegah suami-suami yang akan berpoligami.

b. Mitos Trauma
Perubahan mau tidak mau menimbulkan reaksi. Bisa berbentuk krisis emosional dan stress mental. Perubahan juga berpotensi menimbulkan disintegrasi pada awalnya. Bisa berbetuk disintegrasi sosial dan disintegrasi individual.
Misalnya : ada teori yang dinamakan Cultural Lag (kesenjangan kebudayaan). Perubahan yang terjadi disuatu tempat belum tentu terjadi di tempat lain pada waktu yang bersamaaan. Dan apabila kedua ini bersatu, berpotensi menimbulkan “kegamangan”.
Contoh : sebuah perusahaan yang telah dilengkapi peralatan komputer canggih, namun karyawan2nya tidak mau atau belum belajar mengoperasikannya. Walhasil, komputer hanya menjadi pajangan untuk memperlihatkan “kelas” dari perusahaan tersebut.

Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Orang menolak perubahan biasanya disebabkan karena basic security nya terancam. Jadi, ia merasa lebih nyaman dengan keadaan yang lama. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.

Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan, yakni golongan orang yang sudah merasa nyaman dengan kondisinya saat ini cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.
Selanjutnya penulis mengungkapkan makna dari rekayasa sosial yang sebenarnya dapat dengan mudah kita temukan dikehidupan sehari-hari.

Ada dua macam bentuk perubahan sosial, yakni perubahan sosial yang terjadi secara terus-menerus, tetapi berlangsung secara perlahan tanpa kita rencanakan disebut unplanned social change (perubahan sosial yang tidak terencana). Hal ini disebakan oleh perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi. Bentuk kedua adalah perubahan sosial yang kita rencanakan tujuan dan strateginya yang disebut planned social change (perubahan sosial terencana). Seringkali disebut juga dengan istilah social engineering atau social planning. Contoh dari planned social change adalah pembangunan (development) yang berkisar pada bagaimana mengubah satu masyarakat dengan mengubah sistem ekonominya yang biasanya berpegang pada Ekonomi Klasik. Penulis mengatakan bahwa sebenarnya selama Orde Baru kita telah melakukan rekayasa sosial dengan pola development.

Bab terakhir penulis memaparkan tentang revolusi. Pada umumnya, revolusi terjadi ketika banyak orang merasa tidak puas dengan keadaan yang terjadi. Krisis yang melanda menuntut hadirnya suatu perubahan fundamental dan holistik, adanya reformasi yang mungkin sebelumnya sudah terjadi dirasa berjalan terlalu lamban dan tidak menyelesaikan permasalahan. Dari kondisi inilah kemudian perubahan total dianggap perlu sebagai jawaban, perubahan ini disebut revolusi.

Revolusi sendiri dapat diartikan sebagai bentuk dari perubahan sosial yang paling spektakuler yang menyentuh seluruh aspek kehidupan berbangsa, dalam buku tersebut bahkan dikatakan bahwa revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru tanpa menyisakan hal apapun seperti sebelumnya.

Revolusi memang perubahan yang cepat, tetapi tidak semua perubahan yang cepat disebut revolusi. Menurut Sztompka, setidaknya ada lima ciri dari revolusi yang membedakannya dari perubahan sosial lainnya:

1. Revolusi menghasilkan perubahan dengan skala paling luas dan menyentuh seluruh dimensi kehidupan masyarakat.

2. Perubahan pada revolusi bersifat radikal, fundamental, dan mengakar pada inti permasalahan.

3. Perubahan terjadi dengan sangat cepat.

4. Revolusi menunjukkan perubahan yang paling nyata; karena itu paling dikenang.

5. Revolusi menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang besar dari seluruh pihak.

Penulis selanjutnya memaparkan empat mazhab teori revolusi yang masing-masing memiliki karakter khusus, yakni:

1. Mazhab Behavioral
Inti dari mazhab ini adalah revolusi ditandai dengan perubahan perilaku manusia yang fundamental. Teori ini dikemukan oleh Pitirim Sorokin pada tahun 1925 dimana ia melihat berdasarkan pengalamannya saat Revolusi Rusia tahun 1917. Ia mengatakan bahwa dalam revolusi selalu terjadi penyimpangan perilaku individu. Hal ini dapat terjadi karena adanya represi (tekanan) dari elite penguasa terhadap kebutuhan masyarakat. Adanya kekecewaan dan kemarahan yang dirasakan rakyat pada puncaknya akan menghadirkan revolusi yang dilakukan rakyat terhadap penguasa.

2. Mazhab Psikologis
Menurut teori ini, revolusi terjadi akibat adanya perbedaan antara situasi yang diharapkan dengan kenyataan di lapangan. Meskipun demikian, tidak semua penderitaan menimbulkan pemberontakan. Untuk mencapai revolusi, masyarakat harus merasakan adanya pernderitaan dan ketidakadilan tersebut. Penulis mengambil contoh kondisi di Indonesia yang ada sekian juta masyarakat miskin namun tidak memberontak. Mereka tidak melihat kemiskinan itu sebagai bentuk ketidakadilan, tetapi mereka menganggap bahwa menjadi miskin adalah takdir hidupnya. Hal inilah yang menurut penulis menjadi penyebab mengapa Indonesia belum terjadi revolusi.

3. Mazhab Struktural
Menurut mazhab ini, penyebab revolusi berasal dari struktural antara warga negara dan negara yang besifat makrostruktural, bukan pada tataran individual.

4. Mazhab Politik
Mazhab ini melihat revolusi sebagai bentuk politik dari pihak-pihak yang ingin mengendalikan negara.

Sebagai penutup, penulis menegaskan bahwa manusia dapat menguraikan revolusi, tetapi manusia tidak akan pernah bisa meramalkan kapan revolusi akan terjadi. Penulis pun mengatakan bahwa sebaiknya kita mengatakan saja dengan rendah hati: ”Wallahu a’lam”.

Senin, Mei 25, 2009

KAMMI Sebagai Harapan Dalam Menggagas Perubahan Sosial di Indramayu

Pendahuluan

Terwujudnya ustadziyatul ‘alam yang bermakna kepemimpinan Islam atas dunia adalah pola akhir dari perjuangan gerakan dakwah. Dengan cetak biru yang jelas, contoh sejarah yang nyata, yang semuanya diriwayatkan secara valid, menjadikannya sebagai tujuan akhir dari target-target amal yang selama ini dijalankan. Dan ini masih menjadi perantara bagi tujuan akhir dakwah, yakni menundukan manusia hanya dalam satu kepatuhan yakni mentauhidkan Allah SWT.
Pemilihan kata ’madinah’ sebagai pengganti Yatsrib pada waktu itu, menurut Nurcholis Madjid adalah sebuah sudut pemikiran politis dari Rasulullah Saw. Madinah yang berasal dari huruf ‘d-y-n’ (dal-ya’-nun), bermakna dasar ‘patuh’, sebagaimana dalam tasrif ‘dana-yadinu’. Disini kita mengerti kenapa ‘agama’ menurut bahasa kita dibahasakan oleh Arab sebagai ‘din’. Karena itu merupakan sebuah ide yang mengacu kepada kepatuhan atau sikap patuh. Maka ketika kita berbicara tentang masyarakat ’madani’, kita akan temui sebuah masyarakat yang patuh dan taat terhadap aturan yang berlaku.
Dalam konsepsi islam, kepatuhan ini hanya ditujukan atas patuh terhadap Allah SWT semata. Artinya ketika ada pungutan zakat, masyarakat yang madani berlomba-lomba untuk berzakat dengan hanya beralasan ikhlas. Begitu pula dengan mematuhi perintah Islam yang lain. Patuh tanpa syarat. Karena itu semua ditopang juga oleh perilaku pemimpin ummat yang amanah dan profesional. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah khulaafa-ur rasyidiin. Seorang Pemimpin yang kekuasannya melebihi Presiden saat ini, masih sempatnya memikirkan bagaimana tanggung jawabnya jika ada unta yang tersesat di gurun, memikul bantuan sosial berupa sekarung gandum sendirian di malam buta, atau mengejar unta zakat yang terlepas. Itulah pemimpin yang humanis dan tidak elitis, yang mungkin jarang ditemui saat ini. Maka seluruh ketidakadilan sosial yang mengarah pada konflik sosial vertikal maupun horizontal yang sering terjadi dalam wilayah dinamis seperti itu hampir tidak ditemui dalam masyarakat madani.

Latar Belakang

Negara dunia ketiga selalu menjadi sasaran imperialisme modern. Dengan catatan hanya Palestina saja yang mengalami imperialisme kuno hingga saat ini. Di bidang apapun, negara dunia ketiga selalu tertinggal dari negara maju di Barat maupun Timur. Sehingga campur tangan asing begitu mudahnya masuk lewat bantuan secara finansial. Dan inilah yang menjadikan kemandirian bangsa di negara dunia ketiga melemah dari sisi kedaulatan negara dan kewibawaan pemimpinnya. Dan parahnya, mayoritas penghuni negara-negara dunia ketiga adalah muslim.
Salah satu negara dunia ketiga itu adalah Indonesia. Dengan mayoritas ummat Islam terbesar mencapai 85% dari total penduduknya. Dengan kekayaan alam yang hanya bisa dibanggakan, tapi tidak dimanfaatkan oleh pribumi, 1,4 juta keluarga Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, artinya lebih miskin dari standar kemiskinan itu sendiri.
Dalam konteks politik, gerakan politik Islam pun belum mampu menunjukkan posisi tawar yang tinggi bagi gerakan politik nasionalis. Mereka belum mampu menciptakan poros kekuatan alternatif permanen yang memungkinkan aspirasi ummat terwadahi dalam negara demokrasi yang bernama Indonesia. Sehingga kepemimpinan ummat dalam ranah negara belum bisa digenggam untuk sekarang ini.
Hal ini bisa direfleksikan dari keberadaan partai politik Islam yang hanya mencapai 17 % suara nasional dari hasil Pemilu 9 April kemarin. Bandingkan dengan partai-partai nasionalis yang mencapai sisanya. Gabungan partai Islam saja belum mampu menandingi perolehan suara pemenang pemilu yang 21 %.
Keadaan seperti ini berlanjut pula dalam konteks kedaerahan. Karena secara mayoritas kekuatan bangsa ini ada pada pundak kalangan nasionalis, maka pengaruhnya pun top-bottom, dari atas ke bawah.

Kondisi Kedaerahan

Era otonomi daerah mulai digaungkan lewat tuntutan Reformasi yang salah satunya menuntut penghapusan sentralisasi kekuasaan. Hal ini berakibat pada desentralisasi kekuasaan, daerah memiliki otonomi sendiri dalam mengatur rumah tangganya. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah adalah salah satu instrumen hukum dari ide-ide tentang otonomi tersebut. Undang-undang tersebut mengganti Undang-undang sebelumnya yakni UU nomor 22 Tahun 1999.
Akan tetapi ada efek negatif bermunculan dalam penerapannya. Abuse of power yang paling sering terjadi, apalagi elemen demokrasi yang tidak berjalan secara seimbang. Kekuasaan yang otoriter adalah benalu dari pohon yang bernama otonomi daerah. Benar kata Solon, Pemimpin Demokrasi Athena, dia berkata bahwa kekuasaan yang didukung penuh oleh rakyat memang manis, tapi ia khawatir tidak ada jalan untuk turun.
Indramayu, sebagai salah satu wilayah di Provinsi Jawa Barat memiliki kekhasan tersendiri dari segi kepemimpinan daerahnya. Bupati yang sudah menjabat dua periode berturut-turut itu, memiliki karakteristik yang bisa dikategorikan memiliki pola kepemimpinan yang otoriter. Bupati Irianto MS Syafiudin, yang akrab dipanggil Yance memanfaatkan kultur birokrasi yang menjadi kekuatan Partai pengusungnya selama ini.
Lewat jaringan di kalangan birokrasi inilah Bupati mulai memunculkan indikasinya sebagai pemimpin yang otoriter. Salah satunya adalah dia tidak mengembangkan kehidupan demokrasi sebagaimana diatur oleh UU no. 32 tahun 2004 pasal 22. Semua Pegawai di setiap SKPD diserunya untuk memilih Partai Golkar. Kalau mempunyai pilihan lain, ada mutasi ke daerah terpencil menunggu, atau bagi Perangkat Desa ada penghentian anggaran dana desa jika target suara di desanya tidak mencapai hasil yang diinginkan struktur Partai Golkar setempat. Bahkan pilihan politik tersebut wajib juga bagi keluarga para pegawai tersebut1. Dan ini begitu terlihat nuansa politiknya manakala pemutasian tersebut tidak berlandaskan pada tata aturan kepegawaian2.
Hal yang sama juga berlaku di dunia pendidikan. Ada yang aneh bagi proses kreatifitas pembuatan isi spanduk di seluruh SD di Indramayu, selain warna kuningnya yang sama tentu saja. Semua spanduk tersebut bernada seragam3. Hal ini merupakan sebuah proses upaya politisasi di bidang pendidikan, selain tentu saja sebagai wujud politik pencitraan Partai Golkar lewat Bupati Yance sebagai ’Bapak Pendidikan’ Indramayu. Hal tersebut dilanjutkan lewat pencitraan di media massa lokal, bahwa diberitakan Anggaran Pendidikan dari APBD di Indramayu mencapai 37 %. Menurut Drs. H. Djahidin4, Ketua Dewan Pendidikan Indramayu, dari total 1,2 Triliun APBD, yang dipakai untuk alokasi anggaran pendidikan hanya sebesar 6 %, jadi pemberitaan tersebut hanya upaya pendongkrakan popularitas Bupati saja. Jika mencapai 37 % itu adalah setelah penggabungan antara DAK untuk belanja pegawai, jadi alokasi untuk pendidikan sebenarnya hanya 6 %, masih jauh dari 20 % yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Kelanggengan sikap dan perilaku otoriter itu merambah juga dalam wilayah agama. Setelah pada tahun 2005 menempelkan fotonya sendiri dalam Al-Qur’an, kini pada medio Februari tahun 2009, iklan bernuansa SARA juga dibuat oleh Bupati Yance. Tak ada kemarahan secara massif di Indramayu. Elemen ’garis keras’ seperti Jamaah Ansharut Tauhid, MMI dan Hizbut Tahrir melemah ketika berhadapan Bupati Yance. MUI setempat sebagai wadah ulama pun mandul.
Banyak pengamat politik mengatakan bahwa perilaku otoriter tersebut muncul karena ketidakseimbangan elemen demokrasi lainnya. Eksekutif terlalu dominan. Legislatif hanyalah paduan suara untuk menyuarakan kebohongan pada rakyat, terlebih pada sidang anggaran yang tidak pernah diungkap ke publik hasilnya. Sedangkan yudikatif hanyalah pemroses hukum, itupun jika ada laporan dari Kepolisian. Sering kasus-kasus besar di Indramayu selalu berakhir di ’peti es’, seperti kasus break water-nya PDAM Indramayu. Padahal beritanya sudah diungkap di skala nasional5.
Namun sayangnya hal ini tidak disadari secara massif oleh rakyat, bahwa ada hak-hak asasinya yang tidak dipenuhi oleh stake holder dalam hal ini eksekutif dan legislatif.

Peranan Dakwah KAMMI

Menurut Thomas Carlyle, sejarah dunia adalah biografi para tokoh besar. Pemikir semacam Carlyle memiliki pendapat bahwa sebuah perubahan sosial diawali lahirnya seorang tokoh yang meraih simpati rakyat kemudian menggerakkan massa dan melakukan sebuah gerakan sosial. Diempirikkan oleh Ayatollah Khomeini lewat Revolusi Iran.
Namun sepertinya, pemikiran Carlyle tidak begitu empiris dalam agenda dan peran amal jama’i yang dilakukan oleh gerakan Islam. Sebagai contoh adalah perubahan sosial yang terjadi ketika Era Reformasi tahun 1998. Analisis sosial yang menjadi dasar dari gerakan menuju perubahan sosial merekomendasikan sebuah gerakan demonstrasi yang masif di seluruh Indonesia, dan berpusat di gedung DPR-RI.
Dari rahim kondisi inilah lahir sebuah gerakan kemahasiswaan yang pada awalnya merupakan front aksi yang menyebut dirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia atau KAMMI6.
Sterilnya ideologi yang dimiliki KAMMI7 memungkinkan mereka melakukan perubahan sosial yang diatur oleh Islam, yakni,
1.Mewujudkan pribadi muslim yang diridhai Allah (bina’ al-fardli al-muslim)
2.Mewujudkan rumah tangga dan keluarga Islami (bina’ al-usrah al-islamiyah)
3.Mewujudkan masyarakat dan lingkungan islami (bina’ al-ijtima’i al-islamiyyah
4.Mewujudkan negara (bina’ daulat al-islamiyyah) yang diridhai Allah
5.Mewujudkan peradaban dunia yang diridhai Allah dengan kepemimpinan Islam atas alam (ustadziyat al-‘alam),
Dan KAMMI menempatkan dirinya sebagai bagian dari jama’ah Islam, atau jamaah minal jama’atul muslimiin, sehingga titik tolak perubahan yang disusung KAMMI disusun berdasarkan anasir berikut:
1.qa’idah ijtima’iyah (basis sosial), yaitu lapisan masyarakat yang simpati dan mendukung perjuangan KAMMI yang meliputi masyarakat umum, mahasiswa, organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, pers, tokoh, dan lain sebagainya.
2.qa’idah harakiyah (basis operasional), yaitu lapisan kader KAMMI yang bergerak di tengah-tengah masyarakat untuk merealisasikan dan mengeksekusi tugas-tugas dakwah yang telah digariskan KAMMI.
3.qa’idah fikriyah (basis konsep), yaitu kader pemimpin, yang mampu menjadi teladan masyarakat, memiliki kualifikasi keilmuan yang tinggi sesuai bidangnya, yang menjadi guru bagi gerakan, mengislamisasikan ilmu pengetahuan pada bidangnya, dan memelopori penerapan solusi Islam terhadap berbagai segi kehidupan manusia.
4.qa’idah siyasiyah (basis kebijakan), yaitu kader ideolog, pemimpin gerakan yang menentukan arah gerak dakwah KAMMI, berdasarkan situasi dan kondisi yang berkembang.
Keempat unsur tersebut merupakan piramida yang seimbang, harmonis dan kokoh, yang menjamin keberlangsungan gerakan KAMMI dalam berdakwah.

Peran Dakwah KAMMI di Indramayu

Analisa sosial menurut Giddens8 secara filosofis ada dua yakni analisis institusional dan analisis perilaku strategis. Namun kebanyakan analisis dilakukan dengan metode praktis dan cepat. Bisa model analisis SWOT, metode ikan, metode peta pikiran, dan lainnya.
Analisis sosial bermanfaat bagi perubahan sosial yang akan dilakukan, karena dengannya bisa dihitung untung rugi dari kemungkinan alternatif yang terjadi.
Periode kepemimpinan Bupati Yance akan berakhir pada tahun 2010 mendatang. Namun sebelumnya, regenerasi keluarganya untuk meneruskan kepemimpinannya sudah dibangun jauh-jauh hari. Istrinya, Hj. Annah Sophanah, kini menjadi Calon anggota DPRD Kabupaten Indramayu terpilih dari Dapil 2 Indramayu pada Pemilu 9 April kemarin. Kemudian anaknya, Daniel Muttaqien, ST, selain menjadi Ketua PC Pemuda Pencasila, juga merupakan Caleg terpilih untuk DPRD Provinsi Jawa Barat dari Dapil 8 Jabar.
Dan persoalan mendasar yang menjadi perbincangan banyak orang adalah siapa sosok yang akan dicalonkan sebagai Bupati Indramayu Periode 2010 – 2015 dari Partai Golkar. Yang jelas tentu tak jauh dari kedua orang tersebut9.
Jika mengambil metode SWOT, maka kondisi di atas bisa menjadi sebuah kesempatan bagi terciptanya sebuah planned social change. Bagaimana pun, tujuan dari sebuah proses perubahan sosial dari rekayasa sosial yang sedang direncanakan di Indramayu adalah terhentinya perilaku otoriter dari penguasa. Karena gerakan KAMMI bukanlah gerakan revolusi, tapi merupakan gerakan sosial reformasi yang lebih dekat maknanya kepada ishlah10.
Annah Sophanah dan Daniel Muttaqien, merupakan dua sosok yang tak begitu diakui kompetensinya, meski populer. Daniel pernah menjadi anggota KAPMI11, dan menurut beberapa teman se-angkatannya, sosok Daniel hanya berada dalam list keanggotaan saja12. Dan Annah hanyalah seorang wanita yang kebetulan bersuamikan seorang Pemimpin Daerah. Ini artinya secara kapabilitas kepemimpinan, keduanya diakui oleh publik masih lemah.
Sedangkan ancaman yang akan muncul adalah manakala mereka berdua dimanfaatkan kalangan pragmatis di lingkungan birokrasi13. Maka bisa jadi lebih parah dari sebelumnya.
Melihat mitra pergerakan yang mulai melemah karena pengaruh kekuatan pragmatis, kini hanya tinggal KAMMI saja yang masih bersuara lantang menentang hegemoni kekuasaan tersebut. Kekuatan KAMMI ada pada keteguhan ideologi dan militansi para kader. Namun kelemahannya adalah KAMMI secara umum belum mampu mengolah isu dan selalu kehilangan wacana. Tapi hal ini bisa diantisipasi dengan optimalisasi kajian politik internal kader, apalagi sekarang sudah ada kekuatan oposisi di parlemen yang menjadi mitra strategis KAMMI ke depan. Hanya yang menjadi permasalahan adalah minimnya kader dalam tataran basis operasional yang bisa dioptimalkan untuk melakukan penetrasi politik maupun menciptakan aksi-aksi demonstrasi yang menggedor pagar parlemen dan pendopo Bupati, juga menembus dinding redaksi media massa lokal dan nasional.
Karena pada hakekatnya, gerakan dakwah adalah penciptaan opini publik sesuai dengan kehendak para da’i-nya. Maka peran-peran aksi demonstrasi dan sejenisnya merupakan sebuah strategi dari rekayasa sosial untuk menciptakan opini publik yang diinginkan oleh KAMMI. Karena dengan pembentukan opini publik inilah sebuah kesadaran masyarakat akan terbentuk, bahwa ada penguasa yang dzalim yang memimpin mereka saat ini. Jika pun tidak tercipta sebuah perubahan sosial lewat mobilisasi rakyat, maka cukuplah dengan tidak dipilihnya calon dari kubu otoriter sebagai Bupati Indramayu periode 2010.

Khatimah

Melihat kenyataan KAMMI pada saat ini ketika dengan jumlah kader pada tataran basis operasional, yang melakukan ekseskusi setiap kebijakan KAMMI, begitu minim. Maka dibutuhkan sebuah upaya pengkaderan yang massif dan puritan, artinya calon kader KAMMI dikembalikan kepada rahim yang melahirkan mereka, yakni Masjid. Kelak ketika mereka menjadi kader dalam ranah konseptor, kekuatan intelektual profetik masih kentara dan mereka memiliki imunitas ideologi yang maksimal. Dengan tidak menghilangkan visi menjadi muslim negarawan, pembentukan kader intelektual profetik itu masih harus tetap dipertahankan.
Peranan intelektual profetik disini sebenarnya mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci14 yakni cendekiawan organik. Cendekiawan organik adalah para konseptor dari kalangan intelektual terdidik (mahasiswa, akademisi) yang menggerakkan massa untuk mengusung sebuah isu besar, dan bergerak bersama massa tersebut. Dan intelektual profetik juga tak beda, hanya saja intelektualitas dalam intelektual profetik itu dibentuk lewat tafaquh fid-dienul Islam. Melalui gerakan intelektual profetik inilah penerapan semua basis konseptual menjadi basis gerak, dari medan kata-kata menuju medan amal, begitu ungkap Hasan Al Banna.
Akhirnya sebagai penutup, solusi dari itu semua adalah kembali kepada asholah dakwah dimana peran penetrasi kaderisasi dan tarbiyah dengan segala bentuknya harus tetap dipertahankan untuk keberlangsungan eksistensi KAMMI. Dan KAMMI akan senantiasa menjadi harapan bagi terciptanya perubahan sosial di negeri ini. Wallahu a’lam bishshowab.
_________________________________________________________________________________
1 Julianto Ramdhani, seorang Ketua BEM Univ. Wiralodra Indramayu tahun 2004, pernah memimpin demonstrasi menentang pelarangan pas foto berjilbab ke Diknas Indramayu. Hal ini berakibat pada pemutasian dan intimidasi ayahnya yang kebetulan menjadi PNS di lingkungan dinas tersebut. Peristiwa tersebut, selain menjadikan keluarga Juli, begitu panggilan akrabnya, trauma terhadap pilihan politik non-pemerintah, juga seolah-olah dijadikan momentum sebagai ’hadiah’ bagi para ’pembangkang’.
2 Dr. Thoha, seorang simpatisan PDIP, pernah melakukan pengobatan gratis bagi warga di sekitarnya di daerah Gabus Wetan dalam kampanye Pilgub 2008 pasangan calon Agum-Nu’man. Akibatnya dia mengalami mutasi, dan anehnya dia dimutasi ke Dinas Trantib. Hal yang sama juga dialami oleh dr. Khoiriyah, seorang simpatisan PKS, yang dimutasi dari wilayah Margadadi ke daerah Gantar, wilayah pelosoknya Indramayu. Kedua hal tersebut sempat menjadi polemik di media massa lokal selama beberapa pekan.
3 Isinya ada dua jenis, kalau bukan berterima kasih pada Bupati, maka pada program REMAJA-nya. Dan seluruh spanduk tersebut sama dalam bahasanya. Ada tiga buah kalimat yang dipakai di spanduk tersebut. Kebetulan yang mustahil jika tidak ada komando atasnya. Mengingat jumlah SD di Indramayu yang sangat banyak.
4 Dalam Diskusi Gerakan Mahasiswa: Quo Vadis Pendidikan di Indramayu, awal April 2009.
5 Harian Kompas, bulan Januari.
6 KAMMI terlahir dari rahim FSLDK di Masjid AR Fahrudin Malang pada tanggal 29 April 1998. Atas desakan peserta FSLDK, agar para aktivis dakwah kampus turut berkontribusi menyelesaikan masalah kebangsaan.
7 Ideologi Islam yang didapat KAMMI bertahun-tahun dari proses pengkaderan berbasis masjid, memungkinkan para kadernya memiliki keihklasan dalam beramal, sehingga mempunyai jiwa militansi yang tinggi dan pola pemikiran yang Islami. Ini bermakna mereka steril dari pengaruh gerakan politik pragmatis apapun.
8 Anthony Giddens, The Constitution of Society, Pasuruan : Pedati, 2004
9 Karena tokoh-tokoh Partai Golkar Indramayu sudah banyak yang melakukan pertentangan secara pribadi. Sebut saja Drs. H. Djahidin, dan H. Herry Sudjati. Dan nama yang terakhir juga sudah menyatakan diri untuk ikut dalam bursa Calon Bupati tahun 2010 dari luar Partai Golkar.
10 Reformasi, revolusi dan evolusi adalah tiga bentuk perubahan sosial. Evolusi adalah perubahan sosial yang lamban dan hanya melingkar di kalangan elit strata social tertinggi, revolusi adalah bentuk perubahan sosial yang radikal, artinya mengubah seluruh sistem sosial yang ada, kemudian reformasi adalah perubahan sosial yang parsial, hanya memperbaiki apa yang perlu diperbaiki saja, sebuah kompromi antara evolusi dan revolusi.
11 Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Indramayu. Sebuah organisasi kedaerahan yang berbasis di Yogyakarta.
12 Dengan kemampuannya itu, mereka kaget ketika Daniel menjadi Ketua PC Pemuda Pancasila dan kini akan dilantik menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Ini sudah menjadi rahasia umum. Betapa nepotisme masih meraja di bumi Indonesia.
13 Adanya FPIR (Forum Penyelamat Indramayu Remaja) bentukan birokrat alumni STPDN dan non-STPDN untuk menangkal hal-hal yang menyangkut kepentingan Bupati, terutama menjelang Pemilu 2009 kemarin. Namun dalam wilayah internal birokrat, mereka justru saling ’hajar’ untuk berebut pengaruh di mata Bupati.
14 Eko Prasetyo, Assalamu’alaikum: Islam itu Agama Perlawanan, Resist Book, 2005.

Senin, Mei 18, 2009

Pernyataan Sikap terkait Capres-Cawapres 2009

Salam Perjuangan.. .
Berikut adalah release pernyataan sikap resmi dari KAMMI Pusat terkait
kebijakan “Tolak Capres-cawapres neoliberal dan tidak berpihak pada
rakyat”.

Semoga menjawab kesimpang-siuran respons dari teman-teman semua.

PERNYATAAN SIKAP

“TOLAK CAPRES-CAWAPRES REZIM NEO-LIBERAL YANG TIDAK PRO RAKYAT”

Assalamualaikum wr wb.

Pemilu bukanlah sekedar momentum pergantian rezim politik.
Pemilu adalah momentum harapan terjadinya pergantian rezim ekonomi
menuju keberpihakan pada rakyat untuk terwujudnya kedaulatan dan
kemandirian bangsa. Karena selama ini kita melihat pendekatan menghadapi
krisis dengan paket kebijakan ekonomi yang bercirikan dengan pencabutan
subsidi, penambahan utang, membuka investasi yang itu benar-benar
berdasarkan rumus neoliberalisme.

Semestinya kita belajar dari ambruknya ekonomi dunia karena
sunami krisis global, yang itu menegaskan betapa rapuhnya ekonomi
neoliberal. Solusi yang ditawarkan terbukti tidak menciptakan jalan
keluar, justru malah semakin membuka pintu ekonomi nasional untuk
digempur oleh krisis ekonomi global.

Pemilu 2009 harus menjadi upaya kita bersama untuk keluar dari
jeratan ekonomi neoliberalisme. Jangan sampai kita biarkan
neoliberalisme semakin menghegemoni Indonesia jika tidak ingin negeri
ini akan terus mengalami keterpurukan. Harus segera dihentikan penjualan
asset negara yang strategis dan penambahan utang baru, peninjauan
kembali kontrak pemerintah yang merugikan kepentingan nasional,
pembangunan infrastuktur penunjang ekonomi rakyat, melindungi pedagang
pasar tradisional dan memperjuangkan hak hak buruh, serta keberpihakan
pada sektor riil dan UKM.

Sudah saatnya, kekuatan politik nasionalis, religius, dan
progressif-kerakyat an, bersatu-padu untuk menegaskan penentangan
terhadap jalan neoliberalistik, sembari mendorong penyelamatan ekonomi
nasional, yang berisikan ekonom-ekonom, politisi, dan intelektual anti
neoliberal dan pro-rakyat. Jangan sampai kita biarkan ekonom-ekonom
neoliberal (Boediono, Sri Mulyani, dll) semakin menjerumuskan bangsa
Indonesia ke arah kehancuran.

Karena itulah mensikapi realitas politik yang sedang
terjadi, pada hari ini KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia)
menyatakan:

1.Menolak pasangan capres-cawapres rezim ekonomi politik neo-liberal

2.Menolak pasangan capres-cawapres antek asing.

3.Mendorong kekuatan politik nasionalis-religius untuk bersatu-padu
menegaskan penentangan terhadap jalan neoliberalistik.

Siapapun yang akan memenangkan Pemilu 2009 dan memerintah harus berani
menggeser peran dominan ekonom pro-neoliberal. Rakyat Indonesia tak
boleh dibiarkan tetap berada di garis kemiskinan serta menjadi jajahan
bagi negara asing,

Wassalamualaikum wr wb

Allahu Akbar…Merdeka

Widya Supena

Ketua PP KAMMI

Rabu, Mei 13, 2009

Berpolitik Bagian Dari Dakwah

Oleh: Tim dakwatuna.com



dakwatuna.com - Allah SWT. telah menurunkan Risalah terakhir yang merangkum seluruh risalah nabi-nabi sebelumnya. Risalah yang bersifat “syaamilah mutakaamilah” (komprehensif dan integral). Risalah yang tidak ada satupun dimensi kehidupan kecuali ia mengaturnya secara sistemik baik secara global maupun secara spesifik. Oleh karenanya, Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah:208)

“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Maidah:48)

Risalah Islam ini sesungguhnya “Risalah Nabawiyah” yang terakhir yang sengaja diturunkan sebagai “way of life” (cara hidup) bagi seluruh manusia. Oleh karenanya ia bicara tentang seluruh dimensi kehidupan manusia. Baik dimensi aqidah, ibadah maupun dimensi akhlak. Dan yang termasuk dalam tiga dimensi ini adalah masalah ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan. Di sini, tidak boleh ada yang melakukan dikotomi dalam ajaran Islam. Tidak ada yang mengatakan: “Islam Yes, Politik No”, dan tidak ada lagi yang mengatakan: “Dakwah Yes, Politik No”. atau mengatakan: “Yang penting adalah aqidah, yang lain nggak penting.”

Selanjutnya bagaimana kita memiliki pemahaman yang komprehensif ini dan memperjuangkannya dalam kehidupan kita. Yang akhirnya lahirlah pencerahan dan perbaikan dalam dunia ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan yang berimpact kepada kebaikan dan maslahat umat.

Tarbiyah Siyasiyah

Tarbiyah siyasiah yang bermakna pendidikan atau pembinaan politik adalah sangat urgent dipahami oleh setiap muslim. Karena pemahaman politik yang sejatinya, tidak sama dengan pemahaman selama ini dalam ilmu politik secara umum, yaitu berpolitik yang hanya dimaksudkan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi kita berpartisipasi dalam politik untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran ilahiah dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Berkuasa untuk melayani umat, dan memimpin untuk memperbaiki sistem yang tidak berpihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Oleh karenanya, seluruh aktivitas yang berkaitan dengan gerakan berpartai dan berpolitik, disebut dengan “Jihad Siyasi” (Perjuangan Politik). Dalam bahasa Imam Hasan Al-Banna, perjuangan ini dikatagorikan dalam marhalah “rukun amal” yang disebut “Ishlahul Hukumah” (Perbaikan Pemerintahan).

Keberhasilan dan kesuksesan berpolitik atau jihad siyasi harus berimpact kepada dimensi kehidupan yang lain. Harus berimpact kepada dunia pendidikan dan dakwah. Yang berujung kepada pencerdasan anak bangsa dan pencetakan generasi rabbani. Harus berimpact kepada dunia ekonomi dan sosial budaya. Yang berakhir kepada pemeliharaan aset-aset negara dan pendayagunaan kepada masyarakat yang lebih luas. Begitu juga mampu memelihara identitas atau jati diri bangsa yang bertumpu pada pondasi spirituil dalam aspek sosial budaya.

Seruan dan anjuran kepada umat Islam untuk kembali ke barak atau ke dunia dakwah saja dengan pemahaman yang sempit, karena alasan bahwa dunia politik adalah dunia “rawan dan beranjau”, dunia yang sarat dengan kebohongan, ketidak jujuran, khianat, gunjing-menggunjing, halal menjadi haram, haram menjadi halal, atau menyetujui demokrasi yang merupakan produk Barat, adalah sebuah seruan kemunduran dalam berdakwah. Bukankah seruan ini seperti orang yang mengatakan dulu: “Islam Yes, Politik No”. Sebuah adigium yang dulu merupakan musuh bersama umat Islam dan da’i yang mengajak kembali manusia kepada Islam secara kaffah atau komprehensif.

Dan bila ada sebagian kader yang tergelincir dan terjerumus dalam permainan sistem yang destruktif negatif, maka tugas umat, organisasi massa Islam atau organisasi politik Islam untuk menyiapkan sarana dan prasarana agar setiap yang terjun ke dunia politik tetap istiqamah dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya dan tetap menjaga integritas diri.

Baina Ad-Dakwah Was Siyasah

Apakah ada pertentangan antara dakwah dan siyasah atau politik?. Jawaban pertanyaan ini akan menyelesaikan kerisauan dan kegamangan kita dalam melakukan kerja-kerja dakwah selanjutnya yang bersinggungan dengan dunia politik dan langkah meraih kemenangan “Jihad Siyasi” dalam perhelatan pemilihan wakil-wakil rakyat dan pemimpin negeri ini.

Ayat di atas dan pengertian Islam yang didefinisikan oleh Imam Hasan Al-Banna di bawah ini adalah dalil yang menunjukkan tentang titik temunya amal da’awi dan amal siyasi dalam bingkai keislaman. Jadi tidak ada samasekali pertentangan antara dunia Dakwah dengan dunia Politik. Coba kita renungkan pernyataan Beliau dalam “Risalatut Ta’lim”:

الإسلامُ نِظَامٌ شَامِلٌ يَتَنَاوَلُ مَظَاهِرَ الحَيَاةِ جَمِيْعًا فهو دَوْلَةٌ وَوَطَنٌ أَوْ حُكَُوْمَةٌ وَأُمَّةٌ، وَهُوَ خُلُقٌ وَقَوَّةٌ أَوْ رَحْمَةٌ وَعَدَالَةٌ، وَهُوَ ثَقَافَةٌ وَقَانُوْنٌ أَوْ عِلْمٌ وَقَضَاءٌ، وَهُوَ مَادَّةٌ وَثَرْوَةٌ أَوْ كَسْبٌ وَغَِنىً، وَهُوَ جِهَادٌ وَدَعْوَةٌ أَوْ جَيْشٌ وَفِكْرَةٌ، كَمَا هُوَ عَقِيْدَةٌ صَادِقَةٌ وَعِباَدَةٌ صَحِيْحَةٌ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ

“Islam adalah nidzam (aturan) komprehensif yang memuat seluruh dimensi kehidupan. Ia adalah daulah dan tanah air atau pemerintahan dan ummat, ia adalah akhlak dan kekuatan atau rahmat dan keadilan. Ia adalah tsaqafah (wawasan) dan qanun (perundang-undangan) atau keilmuan dan peradilan, ia adalah materi dan kesejahteraan atau profesi dan kekayaan. Ia adalah jihad dan dakwah atau militer dan fikrah, sebagaimana ia adalah aqidah yang benar dan ibadah yang shahih ( benar).”

Dakwah yang bertujuan menyeru manusia untuk kembali kepada nilai-nilai Islam secara komprehensif bisa dilakukan oleh kader di manapun ia berada dan apapun profesinya. Apakah ia seorang ekonom, pengusaha, pendidik, teknokrat, birokrat, petani, buruh, politikus (aleg) dan eksekutif (menetri) bahkan seorang presiden sekalipun. Jadi dakwah bukan suatu yang antagonis dengan dunia politik, akan tetapi dunia politik merupakan salah satu lahan dakwah.

Semoga tulisan singkat ini mampu memberi energi baru dan gelora semangat bagi kita umat Islam untuk menguatkan persatuan dan kesatuan untuk menuju Indonesia yang lebih baik, yang diridhoi Allah swt. menuju “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.” Allahu Akbar Walillahi alhamdu.

Minggu, Mei 10, 2009

“Berikan Dulu Hak Kami, Maka Kami Boleh Kau Atur”

hanya sebuah pemikiran

Pernah suatu ketika aku terlibat percakapan dengan seorang tukang becak di depan gerbang kampusku,
“Bang, nggak ashar?”
“Hehe..” Abang Becak malah tersenyum, “Takut nggak dapat penumpang mas”, sambungnya.
“Oohh…”, mulutku membulat, tanda memaklumi.
Sekiranya aku banyak uang mungkin akan aku berikan sebagian kepadanya untuk meninggalkan becaknya sebentar dan sholat sejenak. Agar sejenak ia mengaplikasikan identitasnya, mengejawantahkan imannya. Kini aku tak tega mendebatnya dengan logika nash tentang rizki.

Mungkin tak beda jika logika kristenisasi memakai fenomena tersebut. Selama sekian waktu ada jaminan kehidupan, asal yang bersangkutan datang saja ke gereja. Ikut ‘ngaji’ disana.
Maka kefakiran lebih dekat kepada kekafiran menjadi sebuah hal yang hampir menjadi sebuah aksioma.

Ini menjadi semacam pekerjaan rumah bagi gerakan islam. Terutama mereka yang berada pada ranah politik.
Publik melihat gerakan islam sebagai kumpulan orang-orang yang sholeh, itu benar. Namun untuk melihat gerakan islam bisa mengurusi hajat hidup orang banyak dengan menentukan kebijakan pemerintahan, nanti dulu, publik masih setengah hati. Disamping nalar apatisme yang merebak di kalangan bawah, gerakan islam memang masih belum mampu menunjukan kapasitasnya. Kapasitas yang harusnya lebih besar dari apa yang kini dicapainya.

Dalam tataran ideologi, fakta empiris dan aksiomatik telah menunjukkan besaran kapasitas ideologi gerakan islam. Meski kata Hasan Al-Banna, ummat ini masih memiliki dua iman. Pertama, iman yang tertidur lelap, dan kedua iman yang mengubah, bergerak dan menggerakkan. Iman yang kedua inilah yang dibutuhkan bagi gerakan islam sekarang.
Pada ranah retorika, kalangan pemuka Islam mungkin mampu membangunkan khalayak bahwa sistem islam adalah yang terbaik, itu benar. Tapi bukankah sistem hanyalah sebatas sistem jika pelakunya masih saja tidak mampu menggerakkan sistem tersebut.

Jadi sudah dua bekal sebenarnya yang dimiliki oleh gerakan islam. Pertama adalah kepercayaan masyarakat terhadap individu. Sedangkan yang kedua adalah sejarah emas para founding father ideologi tersebut. Rasulullah saw dan Khulafaurrasyidin.

Untuk menjembatani akan wajah cerah Islam dengan kondisi ummat yang memprihatinkan, dibutuhkan sebuah masivitas kefahaman bahwa gerakan islam harus mampu menentukan kebijakan sendiri bagi ummat. Merealisasikan ide-ide besar mereka tentang peradaban yang mulia. Kalau tidak ikut serta dalam pemerintahan, lalu bagaimana lagi? Dari mana ummat tahu kalau sistem islam adalah terbaik kalau masih sebatas retorika di seminar dan lokakarya?

Kekuasaan dan kejayaan di tangan individu yang sholeh saja tidak cukup, maka diperlukan orang-orang sholeh yang juga negarawan. Istilah anak-anak KAMMI adalah muslim negarawan. Seorang muslim yang mempunyai kafa’ah dalam mengelola Negara.
Kepemimpinan di tangan gerakan islam setidaknya bisa menjembatani akan kefahaman ummat tentang Negara madinah yang pernah dibangun oleh Rasulullah Saw, dan tentang kesejahteraan yang pernah ummat terdahulu rasakan kala kekuasaan Negara tersebut, dengan realita yang sedang dibangun perlahan lewat genggaman daulah saat ini.

Ketika tampuk kepemimpinan sudah di tangan, maka tugas selanjutnya adalah memaknai hadits ‘sayyidul qaum khadimuhum’ serta mengaplikasikannya. Pemimpin adalah pelayan kaumnya. Seseorang yang paling banyak diberi fasilitas ternyata adalah seorang pelayan dalam kacamata islam. Pelayan dalam artian bahwa tugasnya adalah mencukupi kebutuhan rakyat, atau setidaknya sedang ada arah kesana. Setelahnya baru kemudian menyeru tentang nilai-nilai islam untuk bersama ummat mengaplikasikannya.

Dalam surat Al-Balad ayat 12-18, ada sebuah urutan yang menarik. Ini ditafsirkan oleh Salim Akhukum Fillah persis dengan kronologi diatas.
Jadi, sebelum saling berpesan dalam kesabaran dan kasih sayang dan mendapat predikat sebagai orang-orang yang beriman, ada beberapa hal yang harus ditempuh. Perbuatan melepaskan budak, memberi makan orang lapar, anak yatim dan orang yang fakir miskin adalah jalan yang harus ditempuh sebelumnya.
Lantas, jika perbuatan itu tidak dilakukan, apakah sebuah gerakan islam tidak boleh menyeru ke islam? Tetap menyeru itu harus, namun paradigma gerakan islam juga harus diubah. Bukan hanya ‘menyeru’ an sich, namun bagaimana nilai aplikatif da’wah juga secara keseluruhan diaplikasikan.

Dan jika hak-hak rakyat terpenuhi, mungkin besoknya saya tak segan menyeret abang becak itu untuk menunaikan sholat di masjid.

Wallahu a’lam bishshowab

Sabtu, Mei 09, 2009

Kondisi Politik Indramayu

Oleh: Bidang Kastrat KAMMI Indramayu

Kondisi Indramayu Pasca Pemilu Legislatif

Ada sedikit perubahan yang akan terlihat pada peta kekuatan parlemen daerah di Indramayu periode 2009-2014, meski Partai Golkar menguasai 48% kekuatan, namun dari 52% kekuatan lainnya ada upaya untuk membangun sebuah oposisi.
Berikut partai politik yang memperoleh kursi di DPRD Kabupaten Indramayu periode 2009-2014,

1.PDI Perjuangan 9 kursi
2.Partai Golkar 24 kursi
3.Partai Demokrat 4 kursi
4.PKB 4 kursi
5.PKS 4 kursi
6.PPP 1 kursi
7.Hanura 2 kursi
8.Gerindra 2 kursi

Jumlah 50 kursi

Setidaknya begitulah yang terlihat dari manuver Partai non-Golkar yang mendapat kursi tersebut. Ada sebuah upaya untuk melanjutkan aliansi yang sempat harmonis sebelum Pemilu Legislatif kemarin. Hal tersebut diupayakan untuk membendung hegemoni Partai golkar di parlemen, sehingga sebuah sidang parlemen tidak lagi mirip paduan suara.
Dari personel anggota legislatif yang nanti dilantik, ada 18 orang baru yang benar-benar fresh, yang diharapkan masih belum terwarnai oleh sistem.

Upaya penggalangan koalisi non-Golkar rupanya dibaca dengan baik pula oleh Partai Golkar. Partai Golkar yang ‘memiliki’ media massa lokal, berupaya membangun wacana di media.
Diberitakan pada akhir April lalu bahwa Ketua DPC Hanura Kab. Indramayu H. Gorry Sanuri menyatakan kesiapannya untuk berkoalisi dengan Golkar di Pilbup 2010 nanti. Kemudian setelahnya, Ketua DPC PDI Perjuangan Kab. Indramayu, Ir. Sumaryanto, menyatakan keinginannya pula untuk berkoalisi di parlemen dengan partai Golkar. Setelah diklarifikasi oleh pihak eksternal partai, ternyata berita itu dibiaskan oleh media, dan kenyataannya tidak demikian. Meski yang disayangkan adalah tidak adanya upaya untuk melakukan counter media.

Sekarang sedang hangat diberitakan adanya isu perpecahan di tubuh Partai Demokrat Indramayu. Ketua Umum DPD Partai Demokrat Kab. Indramayu, Ir. Sri Budiharjo Herman, diminta oleh 27 DPC dari 31 DPC Partai Demokrat yang ada di Indramayu untuk menghentikan Sekretarisnya, Ir. Kadiman.

Ada upaya untuk merusak peta koalisi oposisi. Namun sampai sekarang hal ini belum berpengaruh secara signifikan pada pihak oposisi tersebut.
Hanya yang perlu dikhawatirkan adalah ‘cerai’nya koalisi yang diakibatkan oleh Pemilu Presiden tanggal 8 Juli mendatang. Karena peta politik nasional dengan daerah begitu berbeda.

Peran Gerakan Mahasiswa

Munculnya kekuatan baru di parlemen setidaknya mengindikasikan adanya harapan penyehatan demokrasi di Indramayu. Setidaknya untuk KAMMI sendiri, ada entry point yang diambil dari kondisi ini,
1.Adanya harapan untuk transparansi data dan informasi hak-hak publik, sehingga KAMMI bisa memantau penggunaan uang rakyat dan kebijakannya yang menyangkut hajat hidup ummat.
2.Harapan terbukanya sikap parlemen untuk mengajak OKP, Ormawa yang di dalamnya KAMMI, serta Ormas untuk hearing terhadap segala macam kebijakan.
3.Ketika dilaksanakan sidang-sidang Parlemen, diharapkan tidak lagi muncul paduan suara untuk kebatilan.

Maka untuk mewujudkan harapan tersebut menjadi kenyataan, KAMMI mengupayakan adanya pelingkaran ‘orang-orang baru’ dari sistem parlemen yang sudah berjalan. Upaya ini diwujudkan dalam,
1.Membangun komunikasi antara elemen ormawa untuk menciptakan parlemen daerah yang bersih, transparan dan berwibawa.
2.Membentuk sebuah forum gerakan lintas ormawa dan mengundang aleg terpilih sebelum mereka dilantik untuk diskusi kedaerahan dan menyodorkan kontrak politik padanya.
3.Rencana aksi demonstrasi pasca pelantikan dan menuntut parlemen menandatangani kontrak politik dengan mahasiswa.


Kondisi Menjelang Pemilihan Bupati Indramayu

Tahun depan, Indramayu akan melangsungkan suksesi kepemimpinan daerah. Incumbent sudah tidak bisa lagi mencalonkan karena sudah dua periode menjabat. Namun, klan keluarganya akan terus dipertahankan di tampuk kekuasaan. Istrinya, Hj. Annah Sophanah yang akan digadang-gadang maju mencalonkan menjadi Bupati Indramayu. Caleg DPRD Indramayu terpilih dari Dapil 2 Indramayu ini adalah figur yang memiliki popularitas di kalangan kader Partai Golkar. Dan rencananya dialah yang akan diusung menjadi Ketua DPRD Indramayu. Kemudian anaknya, Daniel Muttaqien, Ketua Pemuda Pancasila, sudah terpilih menjadi aleg pula di DPRD Provinsi Jawa Barat dari Dapil 8 Jawa Barat. Daniel juga diberitakan akan melanjutkan keluarganya memimpin Indramayu.

Sekedar catatan, banyak dari jajaran birokrasi maupun di lingkaran kekuasaan yang merupakan keluarga Bupati Yance, ada Direktur PDAM Indramayu yang merupakan kerabatnya, kemudian Kepala Dinas Pendidikan, Ketua KOMPAK, dan Dedy Rahmatullah, yang juga Caleg DPRD Indramayu terpilih dari Dapil 6 Indramayu. Tak lupa, Ketua KPU Kabupaten Indramayu, Khotibul Ummam, S.Ag, juga merupakan keponakan dari Istri Bupati.

Nama-nama yang muncul dari luar Partai Golkar juga banyak, seperti Ketua PCNU H. Juhadi, yang juga menjabat sebagai Ketua KOMPI. Kabarnya dia akan maju sebagai calon dari jalur independent. Namun terdengar juga, pihak Partai Golkar akan menyandingkannya sebagai Cawabup mendampingi Hj. Annah Sophanah.

Dari kalangan birokrat, muncul nama H. Herry Sujati, Wabup saat ini. Sekarang dia sudah ‘tidak dipakai’ lagi oleh Partai Golkar. Kegiatannya sekarang adalah konsolidasi konstituennya dan mengadakan temu tokoh masyarakat di beberapa wilayah. Upaya publikasinya kini sudah banyak beredar lewat kalender-kalender yang begitu banyak tersebar di wilayah Indramayu. Dalam beberapa pertemuannya dia mengaku tertarik untuk bekerja sama dengan PKS dan PKB untuk Pilbup mendatang.

Sebelumnya, setelah dikalahkan oleh logika politik berupa perolehan suara yang minim, H. Gorry Sanuri, Ketua DPC Hanura Indramayu berniat untuk mencalonkan diri menjadi Bupati pada tahun 2010 mendatang.

Namun pada hakikatnya nama-nama itu bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi politik yang menjadi pengiringnya, yang jelas untuk saat sekarang masih belum bisa terlihat. Yang pasti terlihat adalah adanya ambisi yang kuat dari incumbent untuk tetap meneruskan keturunannya berada di kasta teratas kekuasaan daerah.

Makna Cinta Itu…

…aku bertanya “What love means to you, Katya?”
“Aaa, my man … cinta adalah channel TV! Tak suka acaranya, raih remote-mu, ganti saluran, beres!”
(Edensor, hal. 158)

Penggalan cerita yang diambil dari Novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi-nya Andre Hirata itu setidaknya mengisahkan kepada kita tentang sebuah pemaknaan seseorang tentang cinta. Sebuah kata yang abstrak, bagi saya tentu, tapi sering menghangatkan kopi kisah hidup seseorang sepanjang penceritaannya. Cinta adalah sebuah channel TV, dimana jika di Indonesia ada 12 channel secara nasional, maka kita tinggal meraih remote TV dan mengganti cinta tersebut dengan yang sebelas lainnya. Begitu simple ternyata. Itu tafsiran Katya tentu.

Love is a sweet torment. Begitu ungkap Maria dalam novel Ayat-Ayat Cinta. Cinta adalah siksaan termanis. Yang terkadang kedatangannya justru dinanti dalam bilur air mata. Ini kata Maria pastinya. Mungkin senada dengan Ti Fat Kai dalam serial Kera Sakti, cinta…dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir. Tragis sekali.

Tulisan ini berangkat dari sebuah pemaknaan tentang cinta, karena sepertinya memang perlu pembahasan tersendiri pada blog ini. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

Cinta bagi kalangan qaumun amaliyyun dalam dunia da’wah, sepertinya mudah didefinisikan. Cinta itu kewajiban yang harus diupayakan bagi pasangan hidup kelak, jika tumbuh sekarang maka ianya bisa berubah menuju sebuah hal yang terlarang, haram. Seorang muslim hanya wajib melandaskan cintanya hanya karena Allah, jika mencintai makhluk-Nya itupun karena Allah semata, bukan yang lain.
Itu teori kawan, buktinya hal ini begitu susah direalisasikan. Setidaknya Majalah Ummi pada September 2006 pernah menurunkan laporan tentang ‘kisah cinta’ tanpa status kalangan aktivis da’wah.

Ada sebuah cerita, seorang gadis ingin sekali bertemu dengan laki-laki yang selama ini selalu diimpikannya. Pada sebuah kesempatan, sang gadis bertandang ke kota si laki-laki. Sebelum bertemu, sang gadis mengirimi surat untuk melakukan sebuah pertemuan, dan si laki-laki itu mengiyakan.
Setelah keduanya tiba di tempat yang disepakati, sang gadis mulai angkat bicara,
“Aku ingin menggenggam tanganmu, kakanda”
“Jangan adinda, ingatlah kepada Allah. Persentuhan kulit kita nanti akan diganti oleh Allah dengan api yang membara”, cegah sang laki-laki.
“Aku selalu membayangkanmu, kini aku ingin merebahkan gemuruh rinduku di pelukanmu itu”, lanjut sang gadis.
Sudahlah, kita hentikan saja disini ceritanya. Kita pertanyakan kenapa ‘da’wah’ si lelaki gagal? Bukannya si gadis sadar, tapi justru makin bertambah keberaniannya untuk melakukan seuatu yang salah.

Inilah indahnya ilmu. Dengan ilmu kita mempunyai furqon untuk melihat mana yang benar dan mana yang tidak syar’i. Dari mula sang lelaki sudah menerobos rambu syari’at dengan melakukan khalwat! Lalu jika setelahnya ada da’wah maka jelas itu da’wah yang dusta.

Kalimat ‘uhibbuki fillah’ selalu menjadi kata sakti untuk menjaga dan atau menitipkan ‘si dia’ agar tetap berada dalam naungan hidayah. Jika sudah begini apa masih dikatakan da’wah? Padahal di luar itu masih ada si dia – si dia yang lain untuk dijaga dalam hidayah, jika memang yang jadi landasan adalah cinta kepada Allah, cinta dalam da’wah.

Maka kalau sudah begini, apa tafsiran cinta bagi para aktivis da’wah? Mungkin secara idealisnya, tafsiran di muka masih dipakai, namun untuk sebagian oknum aktivis da’wah, sepertinya hal tersebut tidak lagi bisa dipakai, terlalu naïf.

Dalam lokomotif da’wah, didalamnya memang banyak penumpang gelap, suara-suara gaduh yang berbicara tanpa ilmu, serta pedagang asongan yang kadang mengganggu ketentraman dalam gerbong, hal-hal seperti itu bisa sering terjadi. Apalagi dalam beberapa wilayah, da’wah ini telah menggenggam daulahnya. Makin banyak saja mereka.
Yang hanya bisa kita lakukan adalah berusaha selayaknya penumpang kereta resmi, yang memiliki karcis dan membayar sesuai tariff. Jika kegaduhan itu memekakkan telinga kita, tegur saja atau laporkan ke security kereta. Selesai.

Hanya saja bagaimana jika kita yang mengalami, menjadi pelaku, bukan dia atau mereka?

Suatu malam, dalam rangkaian acara Daurah Marhallah II, seorang ustadz senior mengatakan bahwa pada era perjuangan da’wahnya dahulu begitu mengharu biru, menegangkan dan membentuk jiwa yang begitu militan. Mihwar tandzhimi banget.
“…sekarang justru muncul sebuah hal baru yang aneh di telinga ane, vmj-lah, hts-lah, apa lah…”

Iya ustadz, mungkin perjuangan kami begitu ringan sekarang, namun karena kemalasan kami saja, hingga apa yang seharusnya ringan selalu menjadi berat. Hati kami menjadi keras karena furqon yang kadang hilang dari pelupuk mata dan hati kami.
Dan cinta itu kadang tak diduga datangnya. Karena syaitan tahu kelemahan dari makhluk Allah yang bernama manusia masing-masingnya. Tapi terkadang bukan selalu salah syaitan juga, karena kita selalu kebanyakan tidak taat, sehingga sumur maksiat makin dalam dan jalan hidayah menjadi makin tinggi untuk digapai.
Dan tentang cinta itu, ianya ibarat perang. Jika kita berhenti menyerang musuh maka kita yang diserang, maka pertahanan terbaik adalah menyerang. Ini dari Sun Tzu, maestro perang dari China yang kesohor itu. Nah kaitannya apa??

Yusuf Qaradhawy dalam Al Waqtu fi Hayaati al-Muslim menerangkan bahwa dalam diri pemuda ada waktu luang dan kemakmuran. Jika keduanya tidak termanfaatkan dengan baik atau dalam istilah diatas, tidak digunakan untuk ‘menyerang’ maka kita yang ‘diserang’, oleh angan kosong dan maksiat. Cinta masuk salah satu diantaranya, dan bisa pula keduanya.
Maka kita wajib membentuk pola-pola ‘penyerangan’ sebelum futur dan syaitan menyerang terlebih dulu.

Suatu ketika, kita naik motor, tiba-tiba di depan ada jalan berlubang, syukur kalau tidak mencelakai kita, tapi setidaknya ini membuat kita kaget jika belum mengetahui sebelumnya.
Ini bisa menjadi target ‘serangan’ kita. Kenapa jalan ini bisa berlubang, padahal anggaran untuk perawatan jalan sudah dialokasikan. Pikiran kita mengarah ke penggunaan alokasi APBD untuk perawatan jalan.
Sejenak pikiran kita mengalih kesana, ke APBD dan penggunaanya. Selidik punya selidik ternyata ada penyimpangan anggaran. Diskusi kanan-kiri, mobilisasi massa atas-bawah, akhirnya turun ke jalan melakukan demonstrasi massa menuntut dana alokasi perbaikan jalan.
Ternyata dari pihak pengemplang dana mengajukan syarat ‘damai’ dengan kita. Tidak, tegas kita nyatakan. Akhirnya lewat jalur birokrasi yang si pengemplang miliki, orang tua kita yang kebetulan menjadi PNS akhirnya ditekan dan diintimidasi untuk menghentikan aksi kita. Dan perjuangan berlanjut dengan seru, haru meski tidak selalu biru.

Mari bersama kita bayangkan, jika kita dalam kondisi seperti itu masihkah kita suka genit me-missed call tahajud atau mengirim pesan singkat berisi nasehat islami pada ‘si dia’, sedangkan pulsa kita habis untuk konsolidasi massa, waktu kita tersita untuk diskusi dan menggalang dukungan. Mungkin lelah, mungkin sekali penat, atau bahkan sakit, tapi setidaknya ada pahala disana dari kerja-kerja itu.

Maka bohong jika berdalih, “Wah, ini mihwarnya sudah beda ustadz…”

Akhirnya, marilah kita memaknai cinta sebagai bagian dari kehidupan, yang harus dijalani, yang harus dilewati, bukan dikutuk apalagi disesali kehadirannya. Karena cinta bukanlah channel TV yang hanya menuruti nafsu kita, ingin channel yang mana saja tinggal ganti. Bukan pula sebuah siksaan, yang menitikkan air mata, yang menyita keseharian kita untuk memikirkannya. Dia hanyalah fitrah yang dikaruniakan Allah pada manusia. Hanya saja, apakah cinta itu telah melampaui ini,
“Dan diantara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)

Dan jika cinta itu sebagai cobaan dalam diri kita maka yakinlah Allah tak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.

“…Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu,…” (al-Hujurat: 7)

Wallahu a’lam bishshowab.

Indramayu, 08 Mei 2009

Rabu, Mei 06, 2009

Mari Berhenti Sejenak

Oleh: Anis Matta

Mari kita berhenti sejenak di sini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak sudah yang kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan; rintangan yang menghambat laju kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat kita muat. Dan masih banyak lagi.

Jadi, marilah kita berhenti sejenak di sini! Kita memerlukan saat-saat itu; saat di mana kita membebaskan diri kita dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat di mana kita melepaskan sejenak beban dakwah selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah kita, melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih; meneliti rintangan yang mungkin akan menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.

Sesungguhnya, bukan hanya kita, para dai, yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis pun punya kebiasaan itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata ulang bisnis mereka. Mereka menyebutnya penghentian. Tapi, para sahabat-sahabat Rasulullah SAW –generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah- menyebutnya majlis iman. Maka, Ibnu Mas’ud berkata, “Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak.”

Majlis iman kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah, peluang yang disediakan lingkungan eksternal, dan target-target yang dapat kita raih.

Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah SWT bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu; bahwa kita akan tetap setia memikul amanat dakwah ini; bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridhaNya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini menguras energi jiwa yang kita miliki, maka majils iman adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dan kesadaran baru, semangat baru, tekad baru, harapan baru, dan keberanian baru.

Karena itu, majlis iman harus menjadi tradisi yang semakin kita butuhkan ketika perjalanan dakwah sudah semakin jauh. Pertama, karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalah yang kita tetapkan dalam grand strategy dakwah perlahan-lahan kita lalui. Mulai dari perekrutan dan pengaderan qiyadah dan junud dakwah yang kita siapkan untuk memimpin umat meraih kejayannya kembali, kemudian melakukan mobilisasi sosial untuk menyiapkan dan mengkondisikan umat untuk bangkit, sampai akhirnya kita membentuk partai sebagai wadah untuk merepresentasikan dakwah di tingkat institusi.

Kedua, karena kita hidup di sebuah masa dengan karakter tidak stabil. Perubahan-perubahan besar di lingkungan strategis berlangsung dalam durasi dan tempo yang sangat cepat. Dan perubahan-perubahan itu selalu menyediakan peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan, apa yang dituntut dari kita, kaum dai, adalah melakukan pengadaptasian, penyelarasan, penyeimbangan, dan –pada waktu yang sama- meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga, karena kita mengalami seleksi dari Allah SWT secara kontinu sehingga banyak duat yang berguguran, juga banyak yang berjalan bertatih-tatih.

Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka, dalam majlis iman ini, kita mengukuhkan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran, penguatan kesadaran, penjernihan jiwa, pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan oleh dakwah kita saat ini.

Tradisi penghentian atau majlis iman semacam ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan; individu atau jamaah. Pada tingkatan individu, tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenung, menghayati, dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif, matang, dan aktual di samping kebiasaan muhasabah memperbaharui niat, menguatkan kesadaran dan motivasi, serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majlis iman untuk kita bagi kepada yang lain sehingga akal individu melebur dalam akal kolektif, semangat individu menyatu dalam semangat kolektif, dan kreatifitas individu menjelma menjadi kreatifitas kolektif.

Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat kehusyuan yang disebutkan Al-Qur’an, maka inilah salah satunya. Pengehentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir strategis, penghayatan emosional yang menyatu secara kuat dengan kesadaran dak keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka, Allah SWT mengatakan, “Belumkah datang saat bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusyukkan hati dalam mengingat Allah dan dalam (menjalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab sebelumnya (di mana) ketika jarak antara mereka (dengan sang Rasul) telah jauh, maka hati-hati mereka menjadi keras, dan banyak dari mereka yang menjadi fasik.” (QS. Al-Hadid : 16)

Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah SAW menyunahkan umatnya melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan; atau mengapa Allah SWT menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah SAW tiga tahun sebelum diangkat menjadi Rasul; atau bahkan mengapa Umar bin Khattab mempunyai kebiasaan i’tikaf di Masjid Haram sekali sepekan di masa jahiliyah. Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majelis –majelis kecil para shahabat Rasulullah SAW di masjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka, kata Ali bin Abi Thalib, adalah dzikir, dan diam mereka adalah perenungan.

Tradisi inilah yang hilang di antara sehingga diam kita berubah jadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka, dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-pikiran baru yang matang dan brilian, kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.

...

Jumat, Mei 01, 2009

Monyet Itu dan Ujian Ini

- sebuah taujih -

Layaknya hewan yang hiperaktif, hewan yang satu ini dikenal sebagai pemanjat yang ulung. Dialah yang kita sebut sebagai monyet.
Pada suatu waktu, monyet ini entah dengan alasan apa dia memanjat pohon cemara hingga hampir mencapai ujung. Berpegangan ia di pohon yang tak memiliki dahan tersebut. Bergelayutan ia diterpa angin, doyong ke kanan kemudian ke kiri.
Tiba-tiba dari arah barat, muncul sebuah pusaran angin, tidak besar namun cukup untuk menumbangkan dedaunan yang berserakan di bawah. Pusaran angin itu melewati cemara yang digelayuit monyet. Terhuyung-huyung si monyet diterpa angin. Beberapa daun cemara keringikut tercabut bersama rantingnya. Namun kencangnya pusaran angin tak membuat monyet taku lalu turun dari pohon cemara, justru ia malah semakin mengencangkan pegangannya pada pohon cemara itu, hingga angin itu berhembus ke tempat lain.

Belum jauh pusaran angin itu pergi, kinidatang lagi dari arah tenggara sebuah angin yang hembusannya lebih besar. Ia tidak berputar seperti angin sebelumnya, namun hembusan satu arahnya sempat membuat pohon cemara melengkung ke arah barat laut. Si monyet sempat ketakutan, namun tak membuatnya turun dari pohon cemara. Lengkungan pohon cemara itu justru membuatnya asyik bergelantungan layaknya berada di pohon yang memiliki dahan. Hingga lima menitpun berlalu, dan angin tenggara ini menghilang di barat.

Pohon cemara berdiri tegak seperti semula. Kini hanya tersisa angin sepoi-sepoi yang mengiringi ajktifitas si monyet. Lama ditiup angin sepoi-sepoi, ternyata membuat si monyet nyaman. Tanpa sadar angin tersebut membuatnya mengantuk dan tertidur. Tidurnya yang pulas menyebabkan pegangannya di pohon cemara semakin lama semakin mengendur, dan akhirnya pun terlepas juga. Dan ia pun tejatuh.

Ini bukanlah sebuah kisah dari hutan antah berantah, namun jika kawan menyebutnya demikian, bolehlah. Namun bukanlah itu yang dimaksud. Ianya semoga memberi makna pada perjalanan hidup kita.
Sebuah ujian yang berupa kesulitan seringkali membuat kita tersadar dan sering pula semakin mengokohkan dan mematangkan kedewasaan kita dalam bersikap. Seperti layaknya monyet dan angin kencang itu.
Namun tak jarang, timbunan fasilitas, ribuah kemudahan, dan banyaknya pilihan hidup membuat kita terlena dan semakin terjerembab dalam lubang gelap yang jauh dari prinsip-prinsip perjuangan hidup itu sendiri.

Mudah-mudahan kita bisa melalui semua ujian, baik yang berupa kesulitan maupun kesenangan, kawan. Insya Allah kita pasti bisa, karena tentu kita bukanlah seekor monyet.

Peran KAMMI dalam Penyehatan Demokrasi di Daerah

Oleh: Bidang Kajian Strategis KAMMI Indramayu

Peran sebagai oposisi konstruktif adalah bagian dari perjuangan KAMMI dalam mengawal cita-cita menuju masyarakat madani. Peran disini tentu dalam wilayah gerakan politik di luar parlemen.
Parlemen bisa kita artikan sebagai kelompok orang yang membuat kebijakan-kebijakan untuk hajat hidup ummat dalam sebuah tatanan demokrasi. Maka tugas dan peran dari oposisi itu sendiri adalaah mengingatkan bilamana terjadi sebuah penyimpangan yang merusak tatanan kehidupan demokrasi. Peringatan itu bisa diwujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi, audiensi maupun advokasi terhadap kebijakan atau rancangannya yang muncul.

Jika dilihat, peranan KAMMI sebenarnya mirip istilah yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci (Eko Prasetyo, 2005: XXVI), yakni cendekiawan organik. Sekelompok cendekiawan organik inilah yang bisa menciptakan arus sendiri dalam berbagai aliran arus yang mengalir dalam kehidupan demokrasi. Sedang cendekiawan organik sendiri adalah kalangan terdidik yang tidak hanya berdiri di belakang gerakan yang sedang masif. Ia tidak hanya mengomentari berbagai kejadian yang terjadi. Namun mereka turun dan bergerak serta menggerakkan massa untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih baik.
Dan dalam kehidupan demokrasi, peran daripada cendekiawan organik begitu penting. Peran partisipasi masyarakat sebagai indikator keberhasilan demokrasi harus diupayakan, dan ini tidak akan terwujud manakala disebabkan beberapa hal perwujudan partisipasi itu tersumbat. Otoriter yang berkuasa bisa menjadi satu sebab. Dan untuk membuka penyumbatan inilah perlunya kalangan terdidik untuk bergerak dan menggerakkan massa menuju sebuah tanan demokrasi yang dicita-citakan.

Sebenarnya yang terjadi ketika otoriterisme berkuasa, adalah adanya sebuah upaya sistemik untuk merangkul dan mematikan di satu sisi yang lain fungsi dan peran dari elemen-elemen demokrasi yang lain. Seorang penguasa, jika kita mengandaikan demokrasi adalah sebuah lingkaran, maka dia berada di satu sisi lingkaran, sedangkan berderet di sisi lingkaran yang sama berjajar: rakyat, media massa, hukum, partai politik, dan mahasiswa. Ini adalah lingkaran independensi dalam kehidupan demokrasi yang sehat. Namun terkadang sebuah momentum dukungan dan simpati rakyat terhadap seseorang, bisa menjadikan sebuah kendaraan untuk mengantar secara perlahan dukungan simpatik menjadi laku tiranik.
Hal ini suatu ketika pernah diungkapkan Solon bahwa kepercayaan rakyat memang manis, namun pada saat yang bersamaan ia mengkhawatirkan tak ada jalan untuk turun.

Dengan simpati rakyat, secara perlahan dibangun pencitraan positif secara simultan di media massa. Media massa pun bisa digandeng ketika oplah mereka dibeli oleh penguasa. Akhirnya dengan manuver politik tertentu, partai dan pihak oposisi ’dibunuh’ secara perlahan. Kini tinggal elemen hukum dan akademisi atau mahasiswa. Hukum pun tak bisa berbicara banyak ketika lini pelapor, saksi, dan hakim dibungkam oleh calon tersangka. Arus pragmatisme yang menjangkiti mahasiswa dan akademisi makin membesarkan pohon otoriterisme tersebut.
Setelah ototriter ini mengokohkan akarnya, barulah sedikit banyak penguasa ini bisa mengumbar perilaku tiraniknya ke tengah publik. Agama sebagai lembaga yang berperan mengendalikan tananan nilai tak bisa berbuat banyak. Bahkan ketika oknum pemuka agama sudah menjadi budak-budak penguasa, agama pun bisa dilecehkan dalam suatu kesempatan. Meskipun salah, ada media yang menganulir kesalahannya.
Inilah sebagian kondisi ketika demokrasi mati suri.

Akhirnya di tangan mahasiswalah kehidupan demokrasi itu harus dibangkitan. Peran yang bisa diambil kembali kepada fungsi mereka sebagai agen kontrol dan berlaku sebagai cendekiawan organik.
Hal pertama yang dilakukan secara teknis adalah bergerak di tataran gerakan politik, bisa jadi menyadarkan peranan partai politik bahwa ada peran dari mereka dalam demokrasi yang diambil alih secara tidak benar oleh satu arus kekuasaan. Atau bisa jadi menghidupkan kembali tokoh-tokoh mati yang pernah ’dibunuh’ oleh rezim tersebut.

Akhirnya sudah dua yang sudah bisa terlepas dari lingkaran setan yang tercipta dari arus kuat tersebut. Mahasiswa bisa berjalan dengan aksi-aksi demonstrasinya, sedangkan elemen parpol bisa berjuang dalam tataran lobi dan penempuhan jalur-jalur hukum maupun relasi politik yang masih bersih.

Ini bisa menjadi berita yang menggerakkan elemen media massa untuk meliput meski ketika berita turun masih saja ketimpangan pemberitaan bisa terjadi. Namun dari massa riil parpol dari elemen rakyat bisa tersadar akan sebuah kondisi yang memprihatinkan dalam kehidupan demokrasi. Separuh dari sebagian rakyat sudah terlepas dari arus otioriter itu.
Namun sekali lagi, sebuah nilai otoriter yang mengakar, secara perlahan tidak akan disadari secara masif oleh rakyat. Maka perjuangan tersebut tidak mudah. Namun jika hal ini bisa berlangsung secara progresif dan simultan, maka upaya minimal adalah terciptanya dua arus, yakni arus kekuasaan di satu sisi dan arus oposisi konstruktif di sisinya yang lain. Hal ini demi terwujudnya sebuah tatanan demokrasi yang bersih dan berwibawa tanpa ada embel-embel otoriter.

Sampai disini, masih adakah yang belum percaya bahwa pasca reformasi masih ada perilaku otoriter dari penguasa dan bahkan sudah menjadi sistem tersendiri pada sebuah wilayah? Jika tidak percaya, marilah jaulah ke bumi Indramayu dan KAMMI disini akan suguhkan fakta empirisnya.