Selasa, April 21, 2009

Agama dan Revolusi Sosial

Di kala itu juga, aku berpendapat:
Bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan pada yang tak punya
Dan mereka tak merasai ini

(Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam)

Saya tak kenal dekat dengannya. Tapi tulisannya yang penuh dengan anjuran bertoleransi bertebaran di mana-mana. Ia ingin melihat agama sebagai penentram kehidupan sosial ketimbang kekuatan penggubah. Dalam daya jangkau pemikirannya, agama memang tidak untuk memuaskan naluri emosional melainkan bagaimana agama mampu menjadi perajut dari perbedaan. Gagasannya memang kerapkali kontroversial tapi itu yang membuat namanya makin populer. Anugerah beasiswa diberikan padanya dan tulisannya selalu mendapat tempat di media nasional. Ia punya kawanan yang berada di bawah bendera liberal. Ia adalah perintis dan martir bagi pasukan yang membawa panji kebebasan,toleransi dan kesamaan pandang. Popularitasnya didaki oleh kecaman, ancaman dan beberapa karya tulis yang dimuat di koran-koran. Ia beda dengan Nurcholish Madjid; lebih berani mengartikulasikan gagasan dan mempunyai jaring media yang banyak.

Ia tak sendirian. Sebuah kelompok kesenian yang memanggungkan kesusilaan seperti melanjutkan gagasannya. Mereka tak setuju dengan aturan soal pornografi. Buatnya pornografi hanya ketentuan yang tak usah dimasukkan dalam perundang-undangan. Ntar penerapannya jadi kacau, membingungkan dan jelas-jelas buat geli. Sebuah pentas teater yang sangat konyol dipanggungkan. Kisah yang menertawakan orang yang peduli soal-soal sederhana: tentang ukuran dan bentuk tubuh. Seakan-akan kisah itu memberi warta betapa naifnya mereka yang berjuang untuk urusan susila. Terbelakang, pandir dan tak tahu akibat. Ringkasnya kita kini hidup dalam kebebasan. Aturan mengenai itu tak perlu dan agama hanya urusan pribadi. Mereka cemas tentang aspirasi agama yang ingin mengurus semua. Kecemasannya melebihi soal-soal kemiskinan, akses pada pendidikan dan keadilan pada lapangan pekerjaan. Mungkin karena mereka tinggal dalam kemapanan ekonomi yang tak pernah kesulitan dengan urusan makan. Hidup mereka mirip dengan kisah panggungnya: lucu, gembira dan nyinyir.

Itu sebabnya ungkapannya begitu dingin, penuh ironi dan padat argumen. Seorang esais terkemuka bahkan dengan cerdik melukiskan dilema keimanan yang penuh dengan keloyalan. Ia menampikan banyak kisah bagaimana agama yang dipahami dengan ketaatan buta akan mengantarkan pada kebengisan. Sangat tidak masuk akal kalau urusan agama hanya soal larangan dan perintah. Buatnya Tuhan memang tak bisa dibatasi, didaya jangkau dengan kedisplinan yang kaku. Agama memang tidak menuntut kepatuhan seperti seorang serdadu. Esais yang terkemuka ini menampilkan banyak cerita yang mengagumkan. Ia seakan-akan mau memperlihatkan pesona agama yang lain. Bukan agama kegaduhan, menghakimi apalagi yang datang dengan sepucuk senjata. Kecemasannya sama dengan kelas sosial mapan yang lain: agama bukan nubuat untuk sebuah revolusi sosial. Agama sekedar sebuah pesan indah yang membuat penganutnya selalu bersahaja, mapan dan pintar. Itulah pandangan yang kini menebar di berbagai komunitas dan selalu asyik untuk didiskusikan ketimbang dijalani.

oleh: Eko Prasetyo

Bergeraklah, tidak hanya berhenti kita diskusi, bangkit dan maju melawan!!!

Tidak ada komentar: