Selasa, April 21, 2009

Pendidikan Sebagai Tindakan Politik

oleh Dr. Agus Nuryatno

Antonio Gramsci memandang politik sebagai sebuah proses edukatif. Dengan kata lain, dia memberi muatan edukatif dalam aktifitas politiknya (Diana Coben, 1998). Politik tidak hanya dipersepsi sebagai seni memperebutkan kekuasaan, tapi di dalamnya ada muatan dan nilai edukatif. Hal yang sama, Ernesto “Che” Guevara memberi muatan edukatif dalam revolusinya (Peter McLaren, 2000). Suatu saat dia pernah bilang, “If you want an education, join the revolution” (dikutip di Jim Walker, 1981: 120).


Freire berangkat dari titik tolak yang berbeda dari kedua figur di atas, tapi punya spirit yang sama. Dia memberi muatan politik dalam konsep pendidikannya. Bagi Freire, para pendidik harus sadar akan sifat alamiah politik dalam praktek pendidikan yang dijalankannya. “Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa pendidikan merupakan tindakan politik, sebagaimana tidak cukup untuk mengatakan bahwa tindakan politik juga bermuatan edukatif. Kita perlu sekali menyadari sifat alamiah politik dalam pendidikan” (Freire, 1998, hal. 46).

Mengapa Freire memberi muatan politik dalam teori dan praktek pendidikannya? Ini dikarenakan filsafat dasar Freire adalah filsafat praksis. Dalam hal ini, sepertinya Freire menambah makna baru terhadap sebelas tesis Marx yang terkenal tentang Feuerbach, “Kaum filosof hanya bisa menafsirkan dunia dengan cara-cara yang berbeda; padahal yang penting adalah mengubahnya” (Cornell West, 1993: XIII).

Pedagogy of the Oppressed karya Freire penuh dengan nuansa politik, sebagaimana yang termanifestasikan dalam kata-kata penindasan, dehumanisasi, obyek, budaya bisu, liberasi, emansipasi, konsientisasi, humanisasi, dan seterusnya. Terma-terma ini jelas sekali mengindikasikan keyakinan Freire akan kekuatan dan potensi pendidikan untuk melakukan perubahan sosial lewat agen manusia. Konstruksi pendidikan yang ideal adalah yang didasarkan pada konsep etis dan utopis yang bisa memperluas ruang-ruang publik yang demokratis dan melahirkan sebuah struktur sosial yang adil di mana harkat kemanusiaan terlindungi dan kondisi kehidupan manusia meningkat.

Freire menawarkan pendidikan sebagai “bahasa kritik” (Henry Giroux, 1993) dengan menghubungkan pendidikan dengan kekuasaan dan politik, karena ketiganya saling terkait satu sama lainnya. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas di mana ia berada. Bahkan, disadari atau tidak, sebenarnya pendidikan merupakan ajang pertarungan antar pelbagai ideologi yang membentuk realitas sosial. Setiap dimensi sekolah dan setiap bentuk praktek pendidikan secara politis adalah ruang yang diperebutkan. Jika demikian halnya, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari pertarungan antar kepentingan. Dalam pandangan Freire, pendidikan harus mengambil peranan dalam memproduksi dan menciptakan kehidupan publik, bukan sekedar beradaptasi dengan realitas sosial. Meminjam bahasa Neil Postman (1995), pertanyaan yang tepat bukanlah “Apakah pendidikan mampu menciptakan kehidupan publik?”, tapi “Kehidupan publik seperti apa yang ingin diciptakan?” (Neil Postman, 1995: 18). Di samping “language of critique,” Freire juga menawarkan “language of hope.” Harapan di sini tidaklah statis atau hanya emosional, tapi sebuah motor penggerak dan sebuah “kebutuhan ontologis” (Freire, 1994: 8), yang sangat penting dalam pendidikan pembebasan.

Gagasan Freire untuk menggeser lokus belajar dari guru/dosen ke murid tidak diragukan lagi telah mengubah relasi kekuasaan, tidak hanya di kelas tapi juga dalam wilayah sosial. Pernyataannya bahwa “education is politics” (Freire, 1987: 46) mengandung banyak arti. Pernyataan ini berarti bahwa semua aktifitas pendidikan itu pada dasarnya bersifat politis dan punya konsekuensi dan kualitas politis. Cara guru mengajar, pilihan pengetahuan yang hendak diajarkan, dan model relasi yang akan dibangun, semuanya bersifat politis, karena mereka mempunyai kontribusi terhadap pembebasan atau domestikasi peserta didik. Dalam hal ini guru/dosen harus konsisten dengan pilihan politiknya. Adalah absurd jika ada guru yang memproklamirkan dan mengajarkan demokrasi dan keadilan tapi pada saat yang sama mengebiri suara peserta didik di kelas. Cukup sulit untuk diterima akal sehat jika ada guru/dosen mengumandangkan nilai-nilai demokrasi, persamaan dan egalitarianisme, tapi pada saat yang sama mengembangkan sebuah hubungan yang otoriter di kelas. Konsistensi antara ucapan dan tindakan harus dijaga supaya guru/dosen bisa terhindar dari kepribadian terbelah (split personality).

Pendidikan sebagai politik juga berarti bahwa proses pembelajaran di kelas tidaklah semata-mata akuisisi dan transmisi pengetahuan, tapi merupakan proses pengembangan subyek yang kritis di mana pengetahuan dan kekuasaan yang ada dipertanyakan secara terus menerus. Proses pembelajaran tidaklah dimaknai sebagai proses memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, tapi lebih sebagai proses untuk memahami, mengkritik, memproduksi dan menggunakan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk mengubah realitas (Paula Allman, 1999). Hanya dalam perspektif inilah proses pembelajaran akan menghasilkan implikasi politis.

Pilihan isi pembelajaran juga punya implikasi terhadap pengembangan critical subjectivities. Dalam konteks ini menarik untuk melihat bagaimana Henry Giroux (1983) dan Peter McLaren (1998 ) mengusulkan perlunya “pengetahuan emansipatoris” didiseminasikan dalam ruang pembelajaran karena ia punya implikasi dalam pendidikan. Konsep “pengetahuan emansipatoris” sebetulnya didasarkan pada kategori-kategori pengetahuan yang dikonstruksi oleh Jurgen Habermas.

Menggunakan pola Habermas, mereka mengklasifikasi pengetahuan dalam tiga kategori: teknis, praktis dan emansipatoris. Karakteristik pengetahuan teknis adalah kontrol, kepastian, obyektifitas, dan bebas-nilai. Implikasi model seperti ini dalam teori pendidikan adalah bahwa pengetahuan harus beroperasi di dalam kerangka lawlike mode of thought dan pengetahuan dipisahkan dari proses pembentukannya. Proses pembelajaran dalam panduan pengetahuan teknis cenderung mengakibatkan kontradiksi dialektis antara guru yang berperan sebagai transmitter pengetahuan dan murid yang berperan sebagai konsumen yang pasif. Posisi seperti ini memungkinkan bagi guru untuk menentukan, mengatur dan mengontrol murid.

Tipe kedua adalah pengetahuan praktis yang menggunakan hermeneutik sebagai alat analisis untuk menafsirkan watak dasar realitas. Model pengetahuan seperti ini membantu peserta didik untuk menganalisa kategori-kategori dan asumsi-asumsi yang membentuk realitas dan bagaimana itu berpengaruh dalam memahami dunia. Pembentukan realitas diyakini dimediasi oleh bahasa di mana manusia secara konstan memproduksi dan memproduksi kembali makna lewat penafsiran mereka terhadap dunia.

Implikasi model pengetahuan praktis terhadap pendidikan adalah pengetahun tidak disampaikan lewat imposisi, tapi dimediasi lewat dialog di antara peserta didik. Mereka didorong untuk mengeksplorasi dan mengartikulasikan nilai-nilai mereka sendiri dan memahami dan mengevaluasinya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, model pengetahuan seperti ini gagal untuk mengembangkan suatu bentuk analisis yang memungkinkan peserta didik untuk mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, khususnya bagaimana kekuasaan dan ideologi yang dominan memproduksi seperangkat makna, pemahaman-pemahaman, dan praktek-praktek yang mendukung dan melanggengkan dominasi struktural mereka, dan pada saat yang sama mencegah munculnya critical community.

Untuk itulah diperlukan tipe lain, yaitu pengetahuan emansipatoris, sebuah bentuk pengetahuan yang mengorientasikan peserta didik untuk memahami realitas sosial berdasarkan pada relasi dialektis kekuasaan. Argumennya adalah bahwa realitas itu dibentuk oleh kompetisi antar paradigma, di mana masing-masing paradigma membawa agenda, kepentingan, nilai dan ideologi sendiri-sendiri. Proses belajar, dengan demikian, bertujuan untuk mengkritisi pengetahuan dan mendemistifikasi kepentingan-kepentingan ideologis di balik konstruksi realitas sosial, dan kemudian mengambil tindakan untuk menciptakan formasi realitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.

Dalam konteks ini, pengetahuan emansipatoris berupaya untuk melampaui pandangan mekanis dari pengetahuan teknis dan bergerak melampaui kategori pemahaman (understanding) seperti yang dikumandangkan model pengetahuan praktis, agar sampai pada tahap transformasi. Pengetahuan emansipatoris mendorong peserta didik untuk menggunakan self-reflection. Dengan demikian, menghadirkan pengetahuan emansipatoris di dalam kelas punya efek untuk mentransformasi peserta didik menjadi subyek yang independen dan merdeka yang bisa menemukan dan mengartikulasikan suaranya.

Pengetahuan emansipatoris dibentuk didasarkan pada basis kritik dan aksi. Dalam pengertian, ia terlibat, sebagai bagian dari proses kesejarahan, dalam kritik terhadap realitas sosial dan mengambil tindakan untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik. Dasar untuk menilai pengetahuan, dengan demikian, bukanlah apakah ia “salah” atau “benar,” tapi apakah ia “liberatif” atau “opresif.” Proses pembelajaran yang diarahkan untuk mendesiminasi model pengetahuan seperti ini harus didesain sedemikian rupa untuk mempromosikan kesadaran kritis dan kebebasan individu. Dua hal yang bisa menjadi fondasi bagi pemberdayaan peserta didik.

Tidak ada komentar: