Selasa, Juni 23, 2009

Gie

"Iranya ada tante?" Tanya Gie.

"Iranya sudah tidur"

Pernyataan dingin dari Ibu Ira itu, sontak membuat Gie tertunduk. Sesaat
ia berbalik setelah mengucap salam, dan keluar pekarangan ia menutup gerbang. Gie tertawa masam atas ini semua.


Cuplikan kecil dari film garapan Riri riza itu, sesaat memang mewakili
sosok-sosok Gie yang berada di luar sana, saat ini.

Kesibukan mereka membangun basis massa, merajut tali informasi, dan memperluas jaringan, praktis melumpuhkan sektor privasi macam hubungan Gie dengan Ira. Apa pasal? Sosok ibu Ira itu, mayoritas mewakili ibunya Ira-Ira yang lain. Betapa, beliau hanya ingin melihat kebahagiaan putrinya nanti, dan itu dilihatnya nihil pada sosok Gie. Gie yang seorang praktisi jalanan (baca: “tukang demo”), protes sana-sini, selalu berurusan dengan basis militer, serta hanya berteman dengan mesin tiknya yang butut untuk menulis artikel bernilai tak seberapa untuk penghidupan, dilihat para orang tua macam ibunya Ira sebagai pembawa kenestapaan hidup bagi putri tercinta. Untuk itu sebuah pernyataan “Ira sudah tidur” praktis terlontar. Halus memang, untuk melarang Gie bertemu dengan Ira. Daripada akan terlontar, “Jangan temui Ira lagi!” atau “Pergi sana, jangan ganggu kami!”

Kenestapaan Gie dalam hubungan sosial memang seperti itu. Sosok idealis Gie membuatnya dikucilkan dari ranah publik yang selama ini dilawannya. Nestapa, mungkin bagi kita, namun untuk orang-orang yang membangun jiwa idealis macam dia, adalah sebagai jalan hidup, mau tak mau, menghindar seperti apapun, pasti akan dilewati juga.

Mawaddah yang coba Gie bangun sebelum pertemuan dua jiwa dalam azwaajan yang dibingkai dalam pernikahan yang sah, memang terlarang dari segi syar’ie, namun bukan itu kajian utamanya.

Sosok orang tua macam ibunya Ira, memang mayoritas jadi wakil tunggal bagi orang tua yang lain. Wujud Gie, yang selalu terlibat resiko jauh dari harapan orang tua yang putrinya bahagia.
Patron idealisme yang dipegang, memang menjauhkan Gie dari kemapanan yang bisa dia peroleh, dan disinilah lagi-lagi ia menemui kenestapaannya. Harapan orang tua agar yang melamar putrinya itu mapan, minimal lebih dari cukup untuk dipandang sebagai seorang ”suami”, tak ada dalam sosok yang penuh pertaruhan dan resiko macam Gie.

Barangkali itulah kenapa idealisme semakin menjadi monumen yang membatu, berprasasti: hanya bagi orang-orang yang ingin kesepian selamanya. Tuntutan pragmatisme hitam semakin menggiring arah idealisme ke jurang terdalam, jatuh tersungkur, dan mati di kelamnya hati.

Saat ini, di luar sana, sosok seperti Gie berhamburan bak kacang goreng di pasar malam. Dilandasi kaderisasi gerakan yang mapan, akses informasi yang semakin mudah, serta ruang gerak yang semakin terbuka, memungkinkan saat ini Gie terlahir kembar beratus-ratus di setiap lingkungan kampus. Tapi jangan diharapkan adanya kesamaan idealisme mereka dengan Gie.

Ketika berhadapan dengan para politisi senior yang dilihatnya sebagai badut menor, Gie berujar ”Kini mereka telah mengkhianati perjuangannya sendiri. Kita generasi muda, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau.”

Kini pragmatisme kalangan muda begitu jelas kentara, tuntutan idealisme luruh melihat kegiatan yang kekurangan dana, sekretariat yang habis masa kontraknya, atau roda organisasi yang macet akibat oli berupa rupiah tersendat.

Tawaran pragmatisme dari kalangan senior pun semakin kencang, iming-iming penghasilan menggiurkan di masa depan menjadikan gerakan berorientasi ke pembenaran bukan kebenaran yang terbangun dari idealisme.

Pun itu yang ada di jalur politik, lantas bagaimana di luar itu? tak luput. Tawaran gaji besar di sebuah perusahaan, meluluhlantakkan idelisme (lagi). Padahal ketika masih bernaung dalam gerakan, diketahui perusahaan itu pernah diprotes akibat tidak membayar gaji karyawan selama sekian bulan, pembangunan gedungnya yang tidak mengindahkan tata ruang kota, eksplorasi berlebih pada kekayaan alam negeri, yang pada intinya perusahaan yang ia bekerja sekarang adalah perwujudan dari bangsa kapitalis, dimana dulu mungkin teriak: tangan terkepal maju kemuka, hantam para kapitalis, satu komando satu perjuangan, merdeka!! (hehehe).

Namun kini? Ah…lagi-lagi sosok Gie begitu dirindukan.

Ataupun mereka yang berada di dunia birokrasi berbaju coklat krem (baca: PNS). Apalagikah ini? Lembaga dimana hampir setiap hari kita menggerutui setiap kebijakannya, kini kita berada dalam wadah yang sama, terbelenggu tak bisa bergerak.

O, tidak. Jangan kau katakan tentang surat AshShaff:2, "Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?"

Dan kini, cita-cita dan konsep membangun peradaban lewat bertalinya dua jiwa, dala satu pasangan hidup, yang terbingkai menuju hubungan yang sakinah mawaddah, dan kasih sayang, haruskah tertunda dengan kebersikukuhan memegang idealisme? Insya Allah, tidak.

Karena Dia berjanji:"…Dan wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik…" (AnNur:26)

Dan Gie pun menemukan Ira-nya sendiri di bukit Pandalawangi, kesendirian. Gie menikahi kesendiriannya dalam tidurnya yang panjang.

"Saya ingat situasi sulit daripada orang-orang yang idealis (seperti saya??). Yang barangkali harus bertempur dua front. Melawan lingkungannya sendiri dan melawan musuh-musuhnya di luar. Hidupnya adalah kesepian abadi"


wallahua’lam….

Tidak ada komentar: