Minggu, Mei 10, 2009

“Berikan Dulu Hak Kami, Maka Kami Boleh Kau Atur”

hanya sebuah pemikiran

Pernah suatu ketika aku terlibat percakapan dengan seorang tukang becak di depan gerbang kampusku,
“Bang, nggak ashar?”
“Hehe..” Abang Becak malah tersenyum, “Takut nggak dapat penumpang mas”, sambungnya.
“Oohh…”, mulutku membulat, tanda memaklumi.
Sekiranya aku banyak uang mungkin akan aku berikan sebagian kepadanya untuk meninggalkan becaknya sebentar dan sholat sejenak. Agar sejenak ia mengaplikasikan identitasnya, mengejawantahkan imannya. Kini aku tak tega mendebatnya dengan logika nash tentang rizki.

Mungkin tak beda jika logika kristenisasi memakai fenomena tersebut. Selama sekian waktu ada jaminan kehidupan, asal yang bersangkutan datang saja ke gereja. Ikut ‘ngaji’ disana.
Maka kefakiran lebih dekat kepada kekafiran menjadi sebuah hal yang hampir menjadi sebuah aksioma.

Ini menjadi semacam pekerjaan rumah bagi gerakan islam. Terutama mereka yang berada pada ranah politik.
Publik melihat gerakan islam sebagai kumpulan orang-orang yang sholeh, itu benar. Namun untuk melihat gerakan islam bisa mengurusi hajat hidup orang banyak dengan menentukan kebijakan pemerintahan, nanti dulu, publik masih setengah hati. Disamping nalar apatisme yang merebak di kalangan bawah, gerakan islam memang masih belum mampu menunjukan kapasitasnya. Kapasitas yang harusnya lebih besar dari apa yang kini dicapainya.

Dalam tataran ideologi, fakta empiris dan aksiomatik telah menunjukkan besaran kapasitas ideologi gerakan islam. Meski kata Hasan Al-Banna, ummat ini masih memiliki dua iman. Pertama, iman yang tertidur lelap, dan kedua iman yang mengubah, bergerak dan menggerakkan. Iman yang kedua inilah yang dibutuhkan bagi gerakan islam sekarang.
Pada ranah retorika, kalangan pemuka Islam mungkin mampu membangunkan khalayak bahwa sistem islam adalah yang terbaik, itu benar. Tapi bukankah sistem hanyalah sebatas sistem jika pelakunya masih saja tidak mampu menggerakkan sistem tersebut.

Jadi sudah dua bekal sebenarnya yang dimiliki oleh gerakan islam. Pertama adalah kepercayaan masyarakat terhadap individu. Sedangkan yang kedua adalah sejarah emas para founding father ideologi tersebut. Rasulullah saw dan Khulafaurrasyidin.

Untuk menjembatani akan wajah cerah Islam dengan kondisi ummat yang memprihatinkan, dibutuhkan sebuah masivitas kefahaman bahwa gerakan islam harus mampu menentukan kebijakan sendiri bagi ummat. Merealisasikan ide-ide besar mereka tentang peradaban yang mulia. Kalau tidak ikut serta dalam pemerintahan, lalu bagaimana lagi? Dari mana ummat tahu kalau sistem islam adalah terbaik kalau masih sebatas retorika di seminar dan lokakarya?

Kekuasaan dan kejayaan di tangan individu yang sholeh saja tidak cukup, maka diperlukan orang-orang sholeh yang juga negarawan. Istilah anak-anak KAMMI adalah muslim negarawan. Seorang muslim yang mempunyai kafa’ah dalam mengelola Negara.
Kepemimpinan di tangan gerakan islam setidaknya bisa menjembatani akan kefahaman ummat tentang Negara madinah yang pernah dibangun oleh Rasulullah Saw, dan tentang kesejahteraan yang pernah ummat terdahulu rasakan kala kekuasaan Negara tersebut, dengan realita yang sedang dibangun perlahan lewat genggaman daulah saat ini.

Ketika tampuk kepemimpinan sudah di tangan, maka tugas selanjutnya adalah memaknai hadits ‘sayyidul qaum khadimuhum’ serta mengaplikasikannya. Pemimpin adalah pelayan kaumnya. Seseorang yang paling banyak diberi fasilitas ternyata adalah seorang pelayan dalam kacamata islam. Pelayan dalam artian bahwa tugasnya adalah mencukupi kebutuhan rakyat, atau setidaknya sedang ada arah kesana. Setelahnya baru kemudian menyeru tentang nilai-nilai islam untuk bersama ummat mengaplikasikannya.

Dalam surat Al-Balad ayat 12-18, ada sebuah urutan yang menarik. Ini ditafsirkan oleh Salim Akhukum Fillah persis dengan kronologi diatas.
Jadi, sebelum saling berpesan dalam kesabaran dan kasih sayang dan mendapat predikat sebagai orang-orang yang beriman, ada beberapa hal yang harus ditempuh. Perbuatan melepaskan budak, memberi makan orang lapar, anak yatim dan orang yang fakir miskin adalah jalan yang harus ditempuh sebelumnya.
Lantas, jika perbuatan itu tidak dilakukan, apakah sebuah gerakan islam tidak boleh menyeru ke islam? Tetap menyeru itu harus, namun paradigma gerakan islam juga harus diubah. Bukan hanya ‘menyeru’ an sich, namun bagaimana nilai aplikatif da’wah juga secara keseluruhan diaplikasikan.

Dan jika hak-hak rakyat terpenuhi, mungkin besoknya saya tak segan menyeret abang becak itu untuk menunaikan sholat di masjid.

Wallahu a’lam bishshowab

Tidak ada komentar: