Sabtu, Mei 09, 2009

Makna Cinta Itu…

…aku bertanya “What love means to you, Katya?”
“Aaa, my man … cinta adalah channel TV! Tak suka acaranya, raih remote-mu, ganti saluran, beres!”
(Edensor, hal. 158)

Penggalan cerita yang diambil dari Novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi-nya Andre Hirata itu setidaknya mengisahkan kepada kita tentang sebuah pemaknaan seseorang tentang cinta. Sebuah kata yang abstrak, bagi saya tentu, tapi sering menghangatkan kopi kisah hidup seseorang sepanjang penceritaannya. Cinta adalah sebuah channel TV, dimana jika di Indonesia ada 12 channel secara nasional, maka kita tinggal meraih remote TV dan mengganti cinta tersebut dengan yang sebelas lainnya. Begitu simple ternyata. Itu tafsiran Katya tentu.

Love is a sweet torment. Begitu ungkap Maria dalam novel Ayat-Ayat Cinta. Cinta adalah siksaan termanis. Yang terkadang kedatangannya justru dinanti dalam bilur air mata. Ini kata Maria pastinya. Mungkin senada dengan Ti Fat Kai dalam serial Kera Sakti, cinta…dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir. Tragis sekali.

Tulisan ini berangkat dari sebuah pemaknaan tentang cinta, karena sepertinya memang perlu pembahasan tersendiri pada blog ini. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

Cinta bagi kalangan qaumun amaliyyun dalam dunia da’wah, sepertinya mudah didefinisikan. Cinta itu kewajiban yang harus diupayakan bagi pasangan hidup kelak, jika tumbuh sekarang maka ianya bisa berubah menuju sebuah hal yang terlarang, haram. Seorang muslim hanya wajib melandaskan cintanya hanya karena Allah, jika mencintai makhluk-Nya itupun karena Allah semata, bukan yang lain.
Itu teori kawan, buktinya hal ini begitu susah direalisasikan. Setidaknya Majalah Ummi pada September 2006 pernah menurunkan laporan tentang ‘kisah cinta’ tanpa status kalangan aktivis da’wah.

Ada sebuah cerita, seorang gadis ingin sekali bertemu dengan laki-laki yang selama ini selalu diimpikannya. Pada sebuah kesempatan, sang gadis bertandang ke kota si laki-laki. Sebelum bertemu, sang gadis mengirimi surat untuk melakukan sebuah pertemuan, dan si laki-laki itu mengiyakan.
Setelah keduanya tiba di tempat yang disepakati, sang gadis mulai angkat bicara,
“Aku ingin menggenggam tanganmu, kakanda”
“Jangan adinda, ingatlah kepada Allah. Persentuhan kulit kita nanti akan diganti oleh Allah dengan api yang membara”, cegah sang laki-laki.
“Aku selalu membayangkanmu, kini aku ingin merebahkan gemuruh rinduku di pelukanmu itu”, lanjut sang gadis.
Sudahlah, kita hentikan saja disini ceritanya. Kita pertanyakan kenapa ‘da’wah’ si lelaki gagal? Bukannya si gadis sadar, tapi justru makin bertambah keberaniannya untuk melakukan seuatu yang salah.

Inilah indahnya ilmu. Dengan ilmu kita mempunyai furqon untuk melihat mana yang benar dan mana yang tidak syar’i. Dari mula sang lelaki sudah menerobos rambu syari’at dengan melakukan khalwat! Lalu jika setelahnya ada da’wah maka jelas itu da’wah yang dusta.

Kalimat ‘uhibbuki fillah’ selalu menjadi kata sakti untuk menjaga dan atau menitipkan ‘si dia’ agar tetap berada dalam naungan hidayah. Jika sudah begini apa masih dikatakan da’wah? Padahal di luar itu masih ada si dia – si dia yang lain untuk dijaga dalam hidayah, jika memang yang jadi landasan adalah cinta kepada Allah, cinta dalam da’wah.

Maka kalau sudah begini, apa tafsiran cinta bagi para aktivis da’wah? Mungkin secara idealisnya, tafsiran di muka masih dipakai, namun untuk sebagian oknum aktivis da’wah, sepertinya hal tersebut tidak lagi bisa dipakai, terlalu naïf.

Dalam lokomotif da’wah, didalamnya memang banyak penumpang gelap, suara-suara gaduh yang berbicara tanpa ilmu, serta pedagang asongan yang kadang mengganggu ketentraman dalam gerbong, hal-hal seperti itu bisa sering terjadi. Apalagi dalam beberapa wilayah, da’wah ini telah menggenggam daulahnya. Makin banyak saja mereka.
Yang hanya bisa kita lakukan adalah berusaha selayaknya penumpang kereta resmi, yang memiliki karcis dan membayar sesuai tariff. Jika kegaduhan itu memekakkan telinga kita, tegur saja atau laporkan ke security kereta. Selesai.

Hanya saja bagaimana jika kita yang mengalami, menjadi pelaku, bukan dia atau mereka?

Suatu malam, dalam rangkaian acara Daurah Marhallah II, seorang ustadz senior mengatakan bahwa pada era perjuangan da’wahnya dahulu begitu mengharu biru, menegangkan dan membentuk jiwa yang begitu militan. Mihwar tandzhimi banget.
“…sekarang justru muncul sebuah hal baru yang aneh di telinga ane, vmj-lah, hts-lah, apa lah…”

Iya ustadz, mungkin perjuangan kami begitu ringan sekarang, namun karena kemalasan kami saja, hingga apa yang seharusnya ringan selalu menjadi berat. Hati kami menjadi keras karena furqon yang kadang hilang dari pelupuk mata dan hati kami.
Dan cinta itu kadang tak diduga datangnya. Karena syaitan tahu kelemahan dari makhluk Allah yang bernama manusia masing-masingnya. Tapi terkadang bukan selalu salah syaitan juga, karena kita selalu kebanyakan tidak taat, sehingga sumur maksiat makin dalam dan jalan hidayah menjadi makin tinggi untuk digapai.
Dan tentang cinta itu, ianya ibarat perang. Jika kita berhenti menyerang musuh maka kita yang diserang, maka pertahanan terbaik adalah menyerang. Ini dari Sun Tzu, maestro perang dari China yang kesohor itu. Nah kaitannya apa??

Yusuf Qaradhawy dalam Al Waqtu fi Hayaati al-Muslim menerangkan bahwa dalam diri pemuda ada waktu luang dan kemakmuran. Jika keduanya tidak termanfaatkan dengan baik atau dalam istilah diatas, tidak digunakan untuk ‘menyerang’ maka kita yang ‘diserang’, oleh angan kosong dan maksiat. Cinta masuk salah satu diantaranya, dan bisa pula keduanya.
Maka kita wajib membentuk pola-pola ‘penyerangan’ sebelum futur dan syaitan menyerang terlebih dulu.

Suatu ketika, kita naik motor, tiba-tiba di depan ada jalan berlubang, syukur kalau tidak mencelakai kita, tapi setidaknya ini membuat kita kaget jika belum mengetahui sebelumnya.
Ini bisa menjadi target ‘serangan’ kita. Kenapa jalan ini bisa berlubang, padahal anggaran untuk perawatan jalan sudah dialokasikan. Pikiran kita mengarah ke penggunaan alokasi APBD untuk perawatan jalan.
Sejenak pikiran kita mengalih kesana, ke APBD dan penggunaanya. Selidik punya selidik ternyata ada penyimpangan anggaran. Diskusi kanan-kiri, mobilisasi massa atas-bawah, akhirnya turun ke jalan melakukan demonstrasi massa menuntut dana alokasi perbaikan jalan.
Ternyata dari pihak pengemplang dana mengajukan syarat ‘damai’ dengan kita. Tidak, tegas kita nyatakan. Akhirnya lewat jalur birokrasi yang si pengemplang miliki, orang tua kita yang kebetulan menjadi PNS akhirnya ditekan dan diintimidasi untuk menghentikan aksi kita. Dan perjuangan berlanjut dengan seru, haru meski tidak selalu biru.

Mari bersama kita bayangkan, jika kita dalam kondisi seperti itu masihkah kita suka genit me-missed call tahajud atau mengirim pesan singkat berisi nasehat islami pada ‘si dia’, sedangkan pulsa kita habis untuk konsolidasi massa, waktu kita tersita untuk diskusi dan menggalang dukungan. Mungkin lelah, mungkin sekali penat, atau bahkan sakit, tapi setidaknya ada pahala disana dari kerja-kerja itu.

Maka bohong jika berdalih, “Wah, ini mihwarnya sudah beda ustadz…”

Akhirnya, marilah kita memaknai cinta sebagai bagian dari kehidupan, yang harus dijalani, yang harus dilewati, bukan dikutuk apalagi disesali kehadirannya. Karena cinta bukanlah channel TV yang hanya menuruti nafsu kita, ingin channel yang mana saja tinggal ganti. Bukan pula sebuah siksaan, yang menitikkan air mata, yang menyita keseharian kita untuk memikirkannya. Dia hanyalah fitrah yang dikaruniakan Allah pada manusia. Hanya saja, apakah cinta itu telah melampaui ini,
“Dan diantara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)

Dan jika cinta itu sebagai cobaan dalam diri kita maka yakinlah Allah tak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.

“…Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu,…” (al-Hujurat: 7)

Wallahu a’lam bishshowab.

Indramayu, 08 Mei 2009

Tidak ada komentar: